Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Selasa, 20 Agustus 2013

SEKOLAH HIDUP ITU BERNAMA MASYARAKAT



SEKOLAH HIDUP ITU BERNAMA MASYARAKAT
*Marjono

Desa selalu memesona bagi para donasi baik pemerintah maupun kalangan swasta dalam urusan stimulan pembangunan. Reasoning-nya, kamus BPS mengungkapkan, penduduk terbesar berada di desa-desa, masyarakat miskin terbanyak tinggal di pedesaan, tingginya angka buta aksara yang berkontribusi terbesar ialah masyarakat di desa-desa. Dan, glosarium birokrasi acap menstigma kegagalan maupun malpraktek  pembangunan ditimpakan kepada masyarakat yang notabene pendidikan, keterampilan dan sikap mentalitasnya rendah. Cukupkah itu semua?
Lha, sekarang wajarlah jika komposit pembangunan mengalir ke wilayah pedesaan. Karena lokus pedesaan tersebut diharapkan bangkit dan beroleh penghidupan yang lebih sejahtera. Untuk upaya tersebut, tidak kurang baiknya kita  (baca enabler) belajar dari James YC. Yen, 1920 yang mengintrodusir 12 prinsip pembangunan atau pemberdayaan masyarakat yang masih relevan dalam konteks dan eskalasi kekinian.
Pertama, pergi/datanglah ke masyarakat. Langkah ini akan sangat bermakna ketika kita mampu meliat, berhadapan dan menemukan langsung apa yang menjadi persoalan masyarakat. Karena permasalahan faktual dan atau empirik ini akan menjadi basis pertimbangan dalam perumusan kebijakan lanjut. Kedua, hidup bersama masyarakat. Dengan bergumul dengan arus bawah ini, maka kita akan mendapatkan pengalaman langsung dan original di tengah masyarakat. Frase ini tidak bisa tergantikan oleh reportase yang asal bapak/ibu senang belaka. Di sinilah tak terhindar akan nampak mana yang baik dan buruk pada makna denotatif. Pada tataran ini kita akan merasakan dan menikmati betul bagaimana susah dan riangnya masyarakat dalam membangun. Titik empati lebih mengental di sini.
Ketiga, belajar dari masyarakat. Kita di jajaran eksekutif maupun legislatif tidak boleh merasa paling jago dan terpintar dalam membedah soalan masyarakat. Karena masyarakat itu sebenarnya cukup cerdas dalam membuka centang-perentang yang mengurung diri dan lingkungan masyarakat, bahkan mereka memiliki metode atau model yang tidak pernah ditemukan di bangku kuliah atau meja persidangan anggota DPR. Tahapan inilah, kita harus rela membuka diri, saling belajar dan tak ada ordinat dan sub ordinat. Semua pihak berada pada posisi yang setara. Bentuk kearifan lokal menjadi suguhan yang luar biasa ketimbang warna demonstrasi dan gebrakan meja.
Keempat, merencanakan bersama masyarakat. Setelah kita datang, hidup bersama dan belajar dari masyarakat, kita akan beroleh spot-spot atau mapping permasalahan dan potensi yang ada, maka kita pun harus mampu berencana dengan apa menjadi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dan, terpenting dalam fase ini, masyarakat harus terlibat sepenuhnya dalam perencanaan pembangunan, karena sejatinya masyarakatlah adalah pemilik program itu sendiri.
Kelima, bekerja dengan masyarakat. Keberhasilan pembangunan tidak akan pernah berhasil jika hanya dilakukan sepihak, pemerintah semata atau sebaliknya. Maka, kedua kutup itu harus seia sekata. Porsi terbesar tetap berada pada pihak masyarakat. Sikap budaya gotong royong yang menjadi warisa luhur itu tetaplah terawat secara baik, karena jika melupakan atau mengabaikan peran-peran masyarakat dalam membangun, maka ia sesungguhnya telah menjadi malin kundang yang durhaka pada ibu kandungnya (baca masyarakat). Keenam, memulai dengan apa yang diketahui dan dipahami masyarakat. Small is beautiful, kata E. Schumacher. Sisi ini kita lakukan sesuatu dari hal-hal yang kecil, sederhana, simpel dan tidak muluk-muluk. Jadi masyarakat kita ajak menghormati dan menghargai sekecil apapun kontribusi masyarakat, baik menyangkut ide, tenaga, waktu dan kerelaan lainnya. Kita pahamkan seterang-terangnya apa yang menjadi perbincangan dan perlu dipecahkan bersama.
Ketujuh, membangun dengan apa yang dimiliki masyarakat. Kita mulai dengan sesuatu yang ringan dan tidak berliku. Kekuatan terbesar apa yang dimiliki masyarakat, misalnya mereka punya kemampuan dalam urusan pendanaan, maka kita dayagunakan kutup itu atau kuat di ruas tenaga kerja, maka hal itu pun kita optimalkan dalam setiap aspek kegiatan. Dengan demikian, maka kita kelola dengan sebaik-baiknya sumberdaya setempat. Potensi lokal sangat strategis dalam mengurai problem lokal pula.
Kedelapan, ajarkan dengan contoh konkret. Jika kita mengharap proses dan hasil yang sesuai kita harapkan, maka kita hantarkan dan suguhkan kepada masyarakat sesuatu yang nyata bukan sebatas mimpi atau hanya di awang-awang saja. Masyarakat mesti kita berikan yang tidak abstrak. Kita tidak akan pernah bisa mengelola masyarakat kecuali kita telah menghasilkan sesuatu dengan wujud yang bisa dilihat dan pembuktiannya ada. Jadi tidak sekadar pintar berceramah atau pidato, tetapi lebih pada sesuatu yang tidak ngayawara. Masyarakat akan takzim dan hormat atas hal yang ada bukti bukan janji maupun obsesi.
Kesembilan, bukan sekadar pamer, tetapi lebih membentuk pola. Hal ini bermakna bahwa kita jangan terlampau pongah dan tinggi hati atas apa yang telah dicapai, tepai membangun pembelajaran yang membentuk pola kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri. Di sini tidak boleh terjadi pemaksaan kehendak, namun harus mampu membangun pemahaman dan penyadaran masyarakat secara sukarela bukan mobilisasi maupun instruksi. Show of force tidak berlaku dalam etape ini, tetapi kita harus mampu mengelola mindset atau pemikiran bahwa masyarakat mampu membangun sesuatu atas keringat dan berdiri di kakinya sendiri dan menjauhkan bentuk-bentuk intervensi maupun pengawasan. Karena jika sesuatu terus diawasi, maka akan mereduksi nilai atau daya kreasi, inovasi dan discovery masyarakat sendiri.
Kesepuluh, tidak menambahkan dan berakhir saja pada hasil, tetapi lebih pada sistem. Kepolosan, keaslian, kejujuran dan kesediaan masyarakat secara kudus layak diketengahkan. Kita perlu membangun sistem yang kuat untuk mendukung suatu program pembangunan, karena dengan demikian akan semakin menguatkan kapasitas sumberdaya manusia (aparatur) maupun kelembagaan yang ada. Di sini mengandung pelajaran pula, bahwa dalam suatu masyarakat tidak boleh mengandalkan pada satu sosok saja, tetapi harus melakukan model kaderisasi. Di samping itu, terpenting ada munculnya regulasi yang memuat dan tidak surut jika pucuk pimpinan atau sosok penting di dalamnya tanggal. Kebijakan tersebut harus mampu dilakukan oleh siapapun dan bernilai tambah, whatever.
Kesebelas, tidak sepotong-sepotong tetapi lebih pada keterpaduan/integrasi. Segala program pembangunan tidak akan berhasil jika dilakukan secara parsial, sektoral. Hal ini akan jauh berbeda kalau program disengkuyung secara sinergi terintegrasi antar sektor terkait. Di samping cakupan lebih luas, secara metode keilmuan pun akan kuat dalam analisis output maupun outcome-nya. Contoh sederhana, soal kemiskinan yang tak kunjung usai, maka perlu dipecahkan bersama staheholders, menjangkau segitiga ABG (akademisi, busisnesman dan government) dan tak kalah pentinya yakni unsur masyarakat sendiri.
Keduabelas, bukan menyesuaikan tetapi pada mengubah. Di sini kita tidak boleh berkeras hati mengharuskan masyarakat mengikuti apa yang kita mau, namun bagaimana metode kita untuk mengubah sesuatu. Prinsip pembangunan maupun pemberdayaan kita harus mampu mengubah dari yang individual ke komunal, dari malas menjadi rajin dan dari bergantung menuju merdeka dan mandiri. Sekali lagi, kita harus mampu mengubah pola pikir, perilaku dan sikap mental masyarakat menjadi produktif, membangun dan mandiri.
Terakhir, bukan menolong tetapi membebaskan. Pembangunan khususnya pemberdayaan berorientasi pada upaya-upaya membebaskan, bukan menolong an sih. Pembebasan lebih bermakna pada upaya mengangkat harga diri dan pemartabatan masyarakat sesungguhnya. Menolong itu lebih dekat dengan upaya instan dan kurang edukabel serta berjangka pendek. Lain dengan pembebasan yang berperspektif pada sosok-sosok masyarakat yang otonom, jangkauan luas dan sangat lekat dengan nilai futuristik.
Menutup tulisan ini, marilah kita berikan dedikasi dan penghormatan yang setinggi-tingginya atas inisiasi dan keringat masyarakat, karena sekolah hidup itu bernama masyarakat. *Marjono, staf Bapermades Prov. Jateng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar