100% PEMBERDAYAAN
*Marjono
Sekarang ini, ada saja cara orang mendapatkan uang.
Ada yang menempuh dengan hanya menjual omong, ada yang harus berlelah-lelah
dengan membanting tulang dan memeras keringat, ada juga yang mereguknya dengan
adu konsep dan jalan lain yang berujung pada pemerolehan uang. Banyak jalan
menuju roma, banyak cara menghimpun asa juga banyak ragam meraup uang.
Kemiskinan pun meleleh di bulan ramadhan ini, karena
orang yang masih betul-betul miskin (absolut) dan merasa miskin akan
berjuang setidaknya bertahan mencukupi kebutuhan keluarga hingga lebaran. Upaya
ini dilakukan melalui jalan terang-terangan, diekspose di depan mata publik,
sehingga rasa malu atau sungkan sudah tak hinggap di hati mereka, baik
diperempatan jalan, di ujung gang, di depan pusat keramaian, atau di tempat
lalu-lalang orang, sehingga banyak yang menyaru menjadi pengemis (original) dan
atau debutan baru yang dididik sebagai calon pengemis, seolah mereka ingin
membuka mata kita yang dikira buta.
Jalan lain yang berseberangan juga dilalui, seperti
dengan penuh kesadaran bahwa ia miskin, namun ia mampu mempimpin tekad dan
hatinya untuk bekerja keras, siang malam demi melumpuhkan atau mematahkan
kemiskinan keluarganya (menjadi nelayan atau buruh tani, misalnya). Kelompok kedua
ini nampaknya jauh lebih memiliki spirit eagle dan positioning
namun tidak melupakan kewajiban kodratnya menghidupi anak-isteri dan
orang-orang terdekat yang membutuhkannya.
PELUANG
Sekali lagi, kemiskinan acap dibanderol sebagai upaya
legalitas untuk meraih karitas, kemanusiaan,empati pihak lain. Coba buka
kembali memori kita untuk menelusuri rute perjalanan dari rumah sampai ke
tempat kerja di rentang sebulan puasa ini, mungkin saja kita menjumpai
kerumunan pengemis (baru) yang tak seperti hari biasa di ruas Tugumuda,
Pandanaran, A Yani atau Simpang Lima, Kariadi, Kalibanteng, dll).
Mereka secara kuantitas lebih banyak dan dengan
asesorisnya menjual kenestapaannya di hati pengendara motor, pemilik mobil
mewah dan berkilap. Mereka pun bisa meraup hingga ratusan ribu rupiah setiap
harinya. Penghasilan temporer inilah yang menyulut keinginan mereka untuk
mengemis, ketimbang harus jadi pemulung (misalnya).
Mental pengemis yang instan telah menggiring mereka
pada mental konsumtif sekaligus burjouis. Tak sedikit diantara mereka yang
memiliki rumah yang permanen, bagus dan terpandang di lingkungannya, namun
lagi-lagi mereka masih kurus hatinya.
Bagi pengemis, inilah kesempatan baik untuk menumpuk
uang dan bisa beramal di desa asal. Memang dilematis, dan sangat tipis,
bagaimana ia yang pengemis tapi ia juga dermawan. Pertanyaan itu juga berlaku
bagi pengemis atau penumpuk sedekah keliling dari masjid satu ke masjid lain
juga profesi serupa lainnya.
Kita juga tidak bisa menyalahkan cara setiap orang
berbagi rezeki atau sedekah terhadap orang lain. Ada asumsi bahwa tangan di
atas akan lebih baik ketimbang di bawah. Dan, asiknya lagi, mereka pendonasi
lebih suka dan merasa afdol jika ia memberikan infak, sedekahnya melalui
tangannya langsung tanpa perantara.
Padahal, cara-cara seperti itu menerbitkan pucuk-pucuk
kekhawatiran, seperti pembagian sembako yang sampai terjepit, terinjak dan
pingsan atau harus dibawa ke rumah sakit bahkan hingga berhenti pada ajal
menjemput, meskipun dengan pengamanan dan layanan ekstra sekali pun.
Realita seperti itu banyak dijumpai di momen puasa
hingga syawal nanti. Jika masyarakat lebih memilih membagi sedekah, infak atau
zakatnya dengan model individual, tidak dilarang, tetapi hal ini
mengindikasikan sekarang tingkat kepercayaan mereka pada lembaga-lembaga
penyalur zakat, infak dan sedekah menurun bahkan hilang. Masyarakat belum yakin
bantuannya akan sampai di tangan yang membutuhkan 100%.
JEJARING
Berjubelnya pengemis di bulan puasa bagai jamur di
musim hujan, seiring waktu sudah menjadi pemandangan biasa. Kondisi demikian,
nampaknya tak hanya soalan kemiskinan yang melilit kehidupannya, tapi sekarang
telah, sedang dan kecenderungan-trennya akan selalu ada pihak kuat yang
mengeksploitasi kemunculan pengemis.
Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam, seperti memang
karena melaratnya orangtua, tapi bisa juga anak-anak balita yang disewakan
untuk dijadikan alat bantu mengetuk hiba pengguna jalan, atau lagi mereka yang
masih anak usaia sekolah hanya di beri makan, minum seadanya, tapi uang hasil
mengemis seluruhnya diminta orangtua, tanpa pernah mereka diajak mendiskusikan
masa depannya, atau juga ada anak-anak pengemis yang sudah masuk di jaringan
sindikat kejahatan.
Tidak jarang kita harus mengelus dada, ada seorang
bapak atau ibu yang hanya duduk-duduk manis bahkan nampak bercengkerama dengan
orangtua lain, mereka hanya mengawasai dari kejauhan dan acap berdalih
mengontrol jika ada tramtib, sementara anak-anaknya dipaksa dan dibatasi
kehidupannya untuk memekarkan ambisi orangtua dan harus melakukan satu pilihan
yakni, mengemis.
Soalan di atas bukan saja soalan sosial tapi sudah
menjadi permasalahan kemasyarakatan di depan mata kita. Sehingga kita pun tak
cakap jika hanya bersikap pasif-apatis. Kita harus tanamkan ajarkan kepada anak-anak
dan orangtua, bahwa kita tidak boleh miskin, oleh karenanya harus berkeja keras
untuk mendapatkan uang dengan cara halal dan terhormat atau bermartabat.
Jalan hidup sebagai pengemis barangkali tidak masalah,
tetapi jauh akan lebih bermartabat jika ia bekerja di sektor lain dengan makan
dari hasil keringat sendiri. Lembaga keagamaan, tokoh masyarakat dan pemerintah
daerah kita rangkul kita ajak kerjasama menyelesaikan soalan pe-ngemis-an.
Kita ajak bersama-sama sanggar, kelompok dan atau LSM
anak atau apapun namanya yang peduli dengan hal ihwal dunia pengemisan
anak-anak. Pemda pun kita ajak memperbarui regulasi dengan pasal-pasal dan atau
razia yang humanis atau bahkan pemda memfasilitasi pendidikan yang murah (buku,
pakaian, makan minum) gratis bagi anak-anak pegemis melalui kontrak sosial
dengan orangtua atau pengasuhnya. Kita siarkan pengentasan kemiskinan, utamanya
pengemis melalui corong tokoh agama dan seluruh lembaga keagamaan.
Memang soalan anak-anak ini semakin rancu saja di
negeri ini, antara undang-undang dan komnas ham anak beda konteks dan
penafsirannya, salah satunya adalah soal razia anak-anak.
Lalu, bagaimana peran negara atau pemerintah dalam
konteks demikian? Pemerintah bisa memfasilitasi mereka melalui bantuan stimulan
yang berkelanjutan dengan model pendampingan yang menggandeng orang-orang
terdidik dan memiliki kapasitas di bidangnya untuk mengelola bantuan dana yang
harus diabadikan dengan harapan bisa gilir gumanti.
Untuk mengatasi atau menggulangi ledakan pengemis
baru, tak bisa hanya ditempuh 1-2 bulan atau 1-2 tahun tetapi butuh komitmen
dan kemauan politik untuk secara bersama-sama dan simultan bergerak melalui
pelaksanaan hibah dan bantuan sosial yang berkelanjutan. Jadi tak hanya setahun
pertama saja bantuan itu mengalir, tapi seterusnya misalnya hingga lima tahun
ke depan.
Atau tidak boleh terjadi bantuan dana berhenti
gara-gara ada pergeseran atau pergantian pejabat atau kepala daerah, menteri
bahkan Presiden. Atau hanya karena ada prosesi pilpres, pileg, pilgub, pilbup/pilwakot
atau hanya bencana alam, sehingga bantuan dana bagi mereka dialihkan kepada
masyarakat korban atau kepentingan lain yang lebih urgen.
Misalnya saja, kita kucurkan bantuan permodalan usaha
ekonomi produktif bagi komunitas pengemis dengan cara mapping, pelatihan
dan luncuran bantuan alat dan modal, lantas kita dampingi hingga tahapan
tertentu, hingga mereka berucap, “kami sudah tidak butuh bantuan anda lagi,
silakan pergi dan kami mampu mengurus diri kami sendiri.”
Di sinilah salah satu indikator pemberdayaan melalui
jalan pendampingan yang boleh dibilang berhasil. Tak sedikit pula kisah mawar
hitam dalam pemberdayaan masyarakat. Ke depan, langkah-langkah (meskipun) kecil
yang kita lakukan menyorongkan hati, pemikiran dan keberpihakan yang humanis
bakal berujung pada menaiknya penyadaran dan kesejahteraan warga masyarakat. Smal
is beautiful, kata EF Scumacher. *Marjono, Staf Bapermades Prov.
Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar