DESA, PINTU STRATEGIS DALAM PILGUB
Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah
(Pilgub-Cawagub Jateng) sudah di depan mata, saat ini tiga pasang cagub-cawagub
berupaya merangkul sana-sini, baik di perkotaan maupun perdesaan. Yang disebut
terakhir nampaknya menjadi wilayah startegis bagi upaya peraihan massa dalam
pemenangan Pilgub-cawagub 2013-1018.
Desa
nampaknya cukup menarik para pasangan cagub-cawagub di atas, karena isu
kemiskinan di Jateng masih cukup besar, yakni Pada medio September 2012 sebesar 4,863 juta orang
(14,98%), mengalami penurunan sebanyak 113,96 ribu orang jika dibandingkan
penduduk miskin pada bulan Maret 2012 yang berjumlah 4,977 juta orang atau
sebesar 15,34% (BPS Jateng, Januari 2013).
Angka kemiskinan perkotaan dan pedesaan masing-masing
turun 54,6 ribu orang (0,38%) dan 59,3 ribu orang (0,35%). Melihat kondisi di
atas, nampaknya potensi kemiskinan masih berada di pedesaan. Tentunya kondisi
tersebut memerlukan campur tangan semua pihak untuk memberdayakan,
memartabatkan dan memanusiakan kelompok-kelompok miskin dari segenap
problemanya.
Potret akar rumput yang demikian merupakan bahan yang
memiliki nilai tambah dalam konteks pilgub-cawagub dengan berbagai program dan
kegiatan yang ditawarkan yang tentunya pro-desa dan pro-poor. Hal lain
yang membuat desa semakin potensial dalam agenda perhelatan politik Jateng ini
adalah adanya budaya gotong-royong. Melalui budaya ini siapa pun cagub-cawagub
yang datang ke desa-desa dengan sikap yang santun, hormat dan ngu-wong-ke
masyarakat desa, tidak akan sulit mereka akan patuh dan konsisten ketika
diminta untuk meraih cita-citanya bersama pasangan-pasangan cagub-cawagub.
Masyarakat desa juga akan lebih gampang menetapkan
pilhannya pada cagub-cawagub tertentu manakala mereka melihat rekam jejak dan
keteladannya bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Keteladan yang
diproyeksikan tentu yang benilai positip dan mampu mengubah nasibnya, baik
secara moral dan gaya hidup di bawah. Hal ini berkait dengan keteguhan para
cagub-cawagub dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakannya yang memberikan
perhatian serius kepada masyarakat desa. Dan, lagi dalam tataran ini lebih pada
tingkat sensitifitas cagub-cawagub dalam konteks permasalahan
kekurangberuntungan masyarakat desa, seperti yang terkena musibah, bencana atau
kesulitan hidup lainnya.
Implementasi peran profetik (kenabian) juga
akan menjadi salah satu dasar penetapan hatinya jika ia harus memilih salah
satu pasangan calon. Sifat kenabian yang layak diperjuangkan pada sosok-sosok
calon, seperti amanah (dapat dipercaya), fathanah (pandai), tablig
(menyampaikan) dan sidiq (jujur-benar). Barangkali bagi cagub-cawagub tidak
akan sulit meraih massa jika ia mampu menunjukkan sifat kenabian atau profetik
di atas di jutaan mata calon pemilih Jateng. Memang, tak ada manusia yang
sempurna, namun setidaknya lurus hati, seperti kisah dalam bahasa indonesia
zaman sekolah dasar dulu, Amir si Lurus Hati.
Di masyarakat desa begitu mudahnya tersiar dan
tersebar di telinga, jika berita atau kabar baik maupun sebaliknya. Oleh karena
itu, kesempatan baik bagi pasangan cagub-cawagub untuk memulainya. Namun tidak
bisa disetting sekarang, karena masyarakat akan lebih melihat proses ke
belakang. Apakah ia memiliki cacatan putih atau sebaliknya, lebih pada rapor
merah. Catatan merah yang sudah telanjur muncul dan menjadi asumsi publik,
tidak dengan mudah dibalik menjadi sesuatu yang bersih, kudus atau bebas
(netral) secara tiba-tiba atau instan, karena masyarakat desa lebih suka pada
sesuatu yang alamiah, tidak dibuat-buat dan original. Jadi metode gethok tular (mouth
to mouth) di pedesaan sangat kuat. Mereka akan menilai, pasangan
cagub-cawagub, jika baik ya tetap baik, jika buruk ya tetap dinilai buruk (apik
ya apik, elek ya elek). Lebih terbuka dan apa adanya.
Hal lain yang juga mungkin memudahkan pasangan
cagub-cawagub adalah sikap egalitarian mereka. Misalnya, pasangan calon di atas
berangkat dari elemen legislatif, maka masyarakat akan melihat seberapa produk
yang dihasilkan yang memihak pada kepentingan rakyat atau masyarakat desa. Jika
ia berbasis bussinesman, maka seberapa banyak investasi yang ditanamkan
bagi kesejahteraan masyarakat desa, secara sederhana seberapa usaha atau
bisnisnya mampu menyerap tenaga kerja di lingkungannya (lokalitas), dan
pertimbangan lain yang cukup memberikan perubahan positif bagi perkara hajat
hidup pedesaan. Atau ketika calon berlatar disiplin atau profesi sebagai lawyer,
seberapa besar ia memberikan bantuan hukum atau advokasi kepada rakyat miskin
yang tertimpa kasus atau musibah. Hal-hal seperti ini barangkali hanya soalan
kecil tetapi sangat berarti bagi masyarakat desa.
Pintu strategis lainnya, bisa saja berkutat di
persoalan infrastruktur wilayah pedesaan. Bagaimana perbaikan jalan yang rusak,
jembatan yang putus, tanah yang rentan bencana, harga komoditas petani yang
terus anjlog, wilayah yang langganan banjir, erupsi, wabah penyakit dan
sebagainya.
Setumpuk pilihan bisa ditawarkan oleh pasangan
cagub-cawagub, namun sekali lagi keputusan layak dipilih atau tidak lebih
bergantung pada emosional masyarakat. Pilihan adalah soal hati. Desa adalah
pintu merangkai sekaligus mengurai permasalahan menuju kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat Jateng. *Marjono, Staf Bapermades Prov. Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar