*Marjono
Suka tidak suka, diakui atau tidak,
senyatanya kita berasal dari desa. Tidak sedikit pejabat negara hingga petinggi
daerah pun bermula dari sana. Banyak pula keputusan-keputusan penting negeri
ini lahir dari desa. Desa telah memberi sejumlah harapan dan mimpi bagi
kesejahteraan masyarakat.
Fenomena desa masih
dianggap miskin dari masa ke masa, bahkan ketika sampai pembahasan rencana
jangka menengah pembangunan daerah (RPJMD), nyaris semua bentuk hambatan dan
atau kendala pembangunan tertuju kepada desa, seperti masih rendahnya kapasitas
sumberdaya manusia desa, kurangnya teknologi desa dan masih banyak hal lainnya
yang justru semakin menegaskan desa tidak pernah berubah.
Pemuliaan.
Melihat keterpinggiran,
ketidakberdayaan dan kemiskinan desa lantas banyak pihak tergerak dan terdorong
untuk melunasi hutang mereka kepada ibu kandungnya (desa), Sebut saja, dahulu
ada Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdutaskin), lantas muncul Inpres
Desa Tertinggal (IDT), hingga di daerah pun terbit program atau gerakan yang
berorientasi pada mengangkat harkat martabat masyarakat desa dalam aspek luas.
Kita mungkin masih ingat ada pula
Gerakan Kembali ke Desa era Basofi Sudirman, di Jawa Tengah ada Bali Ndeso
Mbangun Deso dalam kepemimpinan Bibit Waluyo. Di tataran Kab/Kota tidak
ketinggalan ada juga Mbangun Deso Noto Kutho, Bangga Suka Desa dan gerakan
serupa lainnya.
Desa diasumsikan sebagai wilayah
yang potensial dengan sumberdaya alam dan manusianya, cuma mereka belum ada
prakarsa untuk menentukan tindakannya, oleh karenanya tidak salah jika ada
intervensi dari pihak luar.
Pihak luar yang belakangan banyak
berkontribusi atas kemajuan desa, di samping pembinaan dari instansi
pemerintah, juga ada LSM/NGO, fasilitator PNPM, dan pihak-pihak yang peduli
kepada nasib desa di masa mendatang.
Sudah saatnya kita menyambut baik
ajakan Presiden SBY, yang melontarkan adanya sarjana masuk desa. Hal ini layak
direspon positif, karena sebagian besar para lulusan perguruan tinggi berburu
pada ranah pegawai negeri, ambtenar atau sosok bos pengusaha, bekerja di
lembaga perbankan.
Salah satu indikasi yang mencuat
adalah tidak sedikit perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memiliki
fakultas pertanian, namun demikian para sarjana lulusan tersebut barangkali
manakala disodori kuesioner peminatan pekerjaan pasca diwisuda, mereka jarang
atau hanya sedikit prosentasenya yang memilih menjadi seorang petani.
Kebanyakan kita masih bermental buruh.
Tak bisa dipungkiri, kesejahteraan
petani sering dipermainkan oleh para tengkulak atau kapitalis. Pada umunya
petani kita masih sebatas peasant belum farmer. Mungkin ini hanya
sebentuk pengingkaran atas nasib masyarakat desa yang tak berdaya.
Desa Paradoks.
Kondisi keterpurukan desa semakin
diperparah ketika para broker proposal leluasa berdalih mengurus dan
bakal memberikan bantuan ke desa dengan imbalan tertentu. Hal ini mungkin tidak
disadari oleh elit atau panitia desa yang hanya mengandalkan trust (kepercayaan)
belaka karena sudah telanjur dekat, baik dan terbiasa bertemu atau masih ada
hubungan darah dengan seseorang pemuka desa bahkan orang yang berpengaruh di
desa tersebut.
Beberapa desa memikirkan nasib
desanya dengan cara berinisiasi membuat proposal-proposal ke berbagai instansi
pemerintah atau berebut kue CSR dari perusahaan, atau menggali donasi
dari pihak luar negeri melalui tangan LSM.
Namun
demikian beberapa pihak merasa terpanggil untuk turut mengangkat nasib desanya
melalui luncuran berbagai program kegiatan baik fisik dan non fisik. Desa
sekarang disimpang jalan, yakni belum didayagunakannya segenap potensi dan
sumberdaya di desa, kutub lainnya, desa telah menjadi sosok yang serakah,
dimanjakan dan selalu dikeroyok proyek. When enough is enough?
Penelitian Sudjijono sastroatmodjo dari
Universitas Negeri Semarang
menjelaskan bantuan hanya melanggengkan kemiskinan. Hal ini
harus cukup hati-hati, karena investasi dana hanya melahirkan kemanjaan sosial.
Sudah seharusnya desa dan masyarakat mengarah pada bagimana peraihan
sumber-sumber ekonomi baru, sehingga ada kepecayaan hidup dan
ketidaksementaraan pendapatan.
Anehnya,
pihak desa maupun masyarakat desa akan lebih agresif ketika desa atau
masyarakatnya akan beroleh bantuan. Mereka pun lantas beramai-ramai membentuk
kelompok-kelompok baru.
Bila dilihat dari motivasi pembentukan kelompok-kelompok tersebut lebih
berfungsi sebagai kelompok sasaran pembinaan dan penyuluhan, bukan sebagai
kelompok masyarakat yang berswadaya. Kerap kali terjadi program yang
diluncurkan oleh suatu institusi mengenai sasaran secara tumpangtindih,
sehingga yang meningkat hanya berkisar pada kelompok (baca orang-orang)
tertentu saja. Akibatnya tolok ukur dan pemantauan sulit dilakukan oleh
masing-masing institusi dalam menilai keberhasilan program (Syamsulbahri,
1995).
Misalnya kelompok PKK juga otomatis
anggota kelompok Air bersih yang nota bene ada embel-embel bantuan dana
stimulan. Kecenderungan berorganisasi/kelompok lebih pada ad hoc-instant
semata, begitu dana habis tamatlah riwayat organisasi atau kelompok tersebut.
Para pendonor atau pemberi bantuan
barangkali melupakan roh dan spirit di dalamnya, stimulan pendanaan hanya
bersifat sesaat, tetapi mengabaikan apa yang disebut transformasi sosio kultur
masyarakat. Pihak-pihak atas mungkin juga hanya sekadar merilis bantuan, surat
pertanggungjawaban bahkan mengejar target dan deadline waktu.
Inilah desa paradoksal, desa yang
kaya tetapi miskin. Hal ini seperti mencari sepatu di atas kepala. Paling
menarik adalah masih saja ada desa yang memegang teguh prinsip berdiri di atas
kaki sendiri. Masyarakat desa dengan sekuat tenaga menggali swadaya secara
mandiri dan mengerjakannya secara gotong royong untuk sebuah tujuan yang telah
dimusyawarahkan di desa.
Misalnya, pemugaran rumah tidak
layak huni, masyarakat bersama-sama memikul seluruh biaya dan pemikiran untuk
mengubah rumah tersebut menjadi layak huni secara teknis, kesehatan dan etika,
mengupayakan sambungan perpipaan yang jaraknya ribuan meter untuk mengatasi krisis
air di desa atau pemuda dengan inovasi kreasinya membuat kincir air dengan
setekad masyarakat desa bisa menikmati indahnya penerangan listrik dan
anak-anak bisa bergiat belajar dengan harapan mampu mengubah desanya. Mereka
nampaknya sedang belajar bahagia dengan cara mereka.
Hal lain yang cukup mensubordinasi
desa adalah munculnya beberapa daerah yang masih suka memberikan pelabelan atau
stigma warga miskin dengan penempelan stiker di rumah-rumah. Kondisi ini
mungkin bagi Pemda untuk lebih memudahkan pendataan dan distribusi bantuan,
namun di sisi lain lebih memberikan impresi penghilangan dan penghancuran harga
diri warga (yang dicap miskin).
Kondisi yang berbeda muncul, di
salah satu daerah adanya bantuan mengangkat hidup para pengemis dan gelandangan
hanya dengan satu harapan mengembalikan harga diri, harkat dan martabat kaum
papa tersebut dengan bantuan usaha produktif, meskipun secara finansial
pendapatan mereka menurun ketimbang berprofesi sebagai pengemis, namun secara
manusiawai harkat martabat mereka jauh meningkat melebihi batas-batas
kemanusiaan sesungguhnya.
RPJMDes - Profil Desa
Pada belahan lain, harapan begitu
tinggi tertumpah pada desa, namun begitu RPJMD di atas belum dimanfaatkan oleh
instansi pemerintah dalam perencanaan pembangunan khususnya alokasi bantuan
kepada desa. Mestinya kondisi itu didayagunakan terintegrasi dalam satu
perencanaan untuk semua, sehingga segala bentuk bantuan ke desa lebih terfokus
dan sesuai dengan harapan masyarakat desa.
Lanskap serupa juga nampak pada
belum diserapnya data profil desa yang sebenarnya berisi data penting potensi
dan segenap keunggulan dan kelemahan desa. Jika hal ini dimanfaatkan oleh
seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) baik Provinsi dan Kab/Kota, maka
bukan mustahil desa memiliki 1.000 wajah (kemajuan). Potensi satu maju,
sumberdaya lain berkembang. Inilah simbiosa yang mesti digarap oleh terisula
ABG (academician, bussiness dan government).
Dari snapshot di atas, untuk
membantu secara riil dan positioning desa selama ini, sepertinya maasih
perlu penguatan relasi internal dan ekseternal serta bantuan yang sifatnya
harus mendidik. Memang banyak lembaga kemasyarakat dan lembaga desa yang
bermunculan di desa, namun selama ini belum berperan fungsi secara optimal.
Misalnya, di desa ada kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, di desa pun
juga ada lembaga badan usaha milik desa (BUMDes).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah
lembaga semacam BUMDes, lembaga ekonomi masyarakat (LEM) itu sudah mampu
mengkoneksikan dan mengintegrasikan diantara para pegiat usaha ekonomi
produktif masyarakat hingga jejaring pasar. Begitu pula, badan permusyawatan
desa (BPD), lembaga pemberdayaan masyarakat desa (LPM) sampai kader-kader
posyandu dan PKK sudah mereposisi peran fungsinya secara organisasional yang ballance antara bisnis dan sosial dalam dinamika
organisasi di desa.
Untuk itu, tidak salah jika bantuan
kepada desa dan masyarakat desa tetap meluncur, tetapi core value
edukasi dan pemberdayaan harus ditegakkan. Sekali lagi perhatian besar terus
kita tumpukan dan curahkan kepada desa, karena masyarakat terbesar di desa, kekurangberuntungan
juga ada di desa.
Ingat, kembali dan berbuat nyata
(hanya) untuk desa merupakan momentum yang memberikan tempat paling terhormat
bagi desa dan masyarakat desa. Karena melaluinya, masyarakat desa sebagai
pemilik program. Sudah waktunya masyarakat membangun. Kita gelorakan peduli
pada desa, kita tabuh genderang Holobiskontulbaris, meski hidup dalam satu
ranjang (desa) tapi punya mimpi yang berbeda. Itulah desa Indonesia.
*(Drs. Marjono, MM, staf Bepermades Prov. Jateng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar