Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Selasa, 20 Agustus 2013

HORMAT KEPADA DESA



*Marjono

   
Suka tidak suka, diakui atau tidak, senyatanya kita berasal dari desa. Tidak sedikit pejabat negara hingga petinggi daerah pun bermula dari sana. Banyak pula keputusan-keputusan penting negeri ini lahir dari desa. Desa telah memberi sejumlah harapan dan mimpi bagi kesejahteraan masyarakat.
Fenomena desa masih dianggap miskin dari masa ke masa, bahkan ketika sampai pembahasan rencana jangka menengah pembangunan daerah (RPJMD), nyaris semua bentuk hambatan dan atau kendala pembangunan tertuju kepada desa, seperti masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia desa, kurangnya teknologi desa dan masih banyak hal lainnya yang justru semakin menegaskan desa tidak pernah berubah.
Pemuliaan.
Melihat keterpinggiran, ketidakberdayaan dan kemiskinan desa lantas banyak pihak tergerak dan terdorong untuk melunasi hutang mereka kepada ibu kandungnya (desa), Sebut saja, dahulu ada Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdutaskin), lantas muncul Inpres Desa Tertinggal (IDT), hingga di daerah pun terbit program atau gerakan yang berorientasi pada mengangkat harkat martabat masyarakat desa dalam aspek luas.
Kita mungkin masih ingat ada pula Gerakan Kembali ke Desa era Basofi Sudirman, di Jawa Tengah ada Bali Ndeso Mbangun Deso dalam kepemimpinan Bibit Waluyo. Di tataran Kab/Kota tidak ketinggalan ada juga Mbangun Deso Noto Kutho, Bangga Suka Desa dan gerakan serupa lainnya.
Desa diasumsikan sebagai wilayah yang potensial dengan sumberdaya alam dan manusianya, cuma mereka belum ada prakarsa untuk menentukan tindakannya, oleh karenanya tidak salah jika ada intervensi dari pihak luar.
Pihak luar yang belakangan banyak berkontribusi atas kemajuan desa, di samping pembinaan dari instansi pemerintah, juga ada LSM/NGO, fasilitator PNPM, dan pihak-pihak yang peduli kepada nasib desa di masa mendatang.
Sudah saatnya kita menyambut baik ajakan Presiden SBY, yang melontarkan adanya sarjana masuk desa. Hal ini layak direspon positif, karena sebagian besar para lulusan perguruan tinggi berburu pada ranah pegawai negeri, ambtenar atau sosok bos pengusaha, bekerja di lembaga perbankan.
Salah satu indikasi yang mencuat adalah tidak sedikit perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memiliki fakultas pertanian, namun demikian para sarjana lulusan tersebut barangkali manakala disodori kuesioner peminatan pekerjaan pasca diwisuda, mereka jarang atau hanya sedikit prosentasenya yang memilih menjadi seorang petani. Kebanyakan kita masih bermental buruh.
Tak bisa dipungkiri, kesejahteraan petani sering dipermainkan oleh para tengkulak atau kapitalis. Pada umunya petani kita masih sebatas peasant belum farmer. Mungkin ini hanya sebentuk pengingkaran atas nasib masyarakat desa yang tak berdaya.
Desa Paradoks.
Kondisi keterpurukan desa semakin diperparah ketika para broker proposal leluasa berdalih mengurus dan bakal memberikan bantuan ke desa dengan imbalan tertentu. Hal ini mungkin tidak disadari oleh elit atau panitia desa yang hanya mengandalkan trust (kepercayaan) belaka karena sudah telanjur dekat, baik dan terbiasa bertemu atau masih ada hubungan darah dengan seseorang pemuka desa bahkan orang yang berpengaruh di desa tersebut.
Beberapa desa memikirkan nasib desanya dengan cara berinisiasi membuat proposal-proposal ke berbagai instansi pemerintah atau berebut kue CSR dari perusahaan, atau menggali donasi dari pihak luar negeri melalui tangan LSM.
Namun demikian beberapa pihak merasa terpanggil untuk turut mengangkat nasib desanya melalui luncuran berbagai program kegiatan baik fisik dan non fisik. Desa sekarang disimpang jalan, yakni belum didayagunakannya segenap potensi dan sumberdaya di desa, kutub lainnya, desa telah menjadi sosok yang serakah, dimanjakan dan selalu dikeroyok proyek. When enough is enough? 
Penelitian Sudjijono sastroatmodjo dari Universitas Negeri Semarang menjelaskan bantuan hanya melanggengkan kemiskinan. Hal ini harus cukup hati-hati, karena investasi dana hanya melahirkan kemanjaan sosial. Sudah seharusnya desa dan masyarakat mengarah pada bagimana peraihan sumber-sumber ekonomi baru, sehingga ada kepecayaan hidup dan ketidaksementaraan pendapatan.
Anehnya, pihak desa maupun masyarakat desa akan lebih agresif ketika desa atau masyarakatnya akan beroleh bantuan. Mereka pun lantas beramai-ramai membentuk kelompok-kelompok baru.
Bila dilihat dari motivasi pembentukan kelompok-kelompok tersebut lebih berfungsi sebagai kelompok sasaran pembinaan dan penyuluhan, bukan sebagai kelompok masyarakat yang berswadaya. Kerap kali terjadi program yang diluncurkan oleh suatu institusi mengenai sasaran secara tumpangtindih, sehingga yang meningkat hanya berkisar pada kelompok (baca orang-orang) tertentu saja. Akibatnya tolok ukur dan pemantauan sulit dilakukan oleh masing-masing institusi dalam menilai keberhasilan program (Syamsulbahri, 1995).
Misalnya kelompok PKK juga otomatis anggota kelompok Air bersih yang nota bene ada embel-embel bantuan dana stimulan. Kecenderungan berorganisasi/kelompok lebih pada ad hoc-instant semata, begitu dana habis tamatlah riwayat organisasi atau kelompok tersebut.
Para pendonor atau pemberi bantuan barangkali melupakan roh dan spirit di dalamnya, stimulan pendanaan hanya bersifat sesaat, tetapi mengabaikan apa yang disebut transformasi sosio kultur masyarakat. Pihak-pihak atas mungkin juga hanya sekadar merilis bantuan, surat pertanggungjawaban bahkan mengejar target dan deadline waktu.
Inilah desa paradoksal, desa yang kaya tetapi miskin. Hal ini seperti mencari sepatu di atas kepala. Paling menarik adalah masih saja ada desa yang memegang teguh prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Masyarakat desa dengan sekuat tenaga menggali swadaya secara mandiri dan mengerjakannya secara gotong royong untuk sebuah tujuan yang telah dimusyawarahkan di desa.
Misalnya, pemugaran rumah tidak layak huni, masyarakat bersama-sama memikul seluruh biaya dan pemikiran untuk mengubah rumah tersebut menjadi layak huni secara teknis, kesehatan dan etika, mengupayakan sambungan perpipaan yang jaraknya ribuan meter untuk mengatasi krisis air di desa atau pemuda dengan inovasi kreasinya membuat kincir air dengan setekad masyarakat desa bisa menikmati indahnya penerangan listrik dan anak-anak bisa bergiat belajar dengan harapan mampu mengubah desanya. Mereka nampaknya sedang belajar bahagia dengan cara mereka.
Hal lain yang cukup mensubordinasi desa adalah munculnya beberapa daerah yang masih suka memberikan pelabelan atau stigma warga miskin dengan penempelan stiker di rumah-rumah. Kondisi ini mungkin bagi Pemda untuk lebih memudahkan pendataan dan distribusi bantuan, namun di sisi lain lebih memberikan impresi penghilangan dan penghancuran harga diri warga (yang dicap miskin).
Kondisi yang berbeda muncul, di salah satu daerah adanya bantuan mengangkat hidup para pengemis dan gelandangan hanya dengan satu harapan mengembalikan harga diri, harkat dan martabat kaum papa tersebut dengan bantuan usaha produktif, meskipun secara finansial pendapatan mereka menurun ketimbang berprofesi sebagai pengemis, namun secara manusiawai harkat martabat mereka jauh meningkat melebihi batas-batas kemanusiaan sesungguhnya.
RPJMDes - Profil Desa
Pada belahan lain, harapan begitu tinggi tertumpah pada desa, namun begitu RPJMD di atas belum dimanfaatkan oleh instansi pemerintah dalam perencanaan pembangunan khususnya alokasi bantuan kepada desa. Mestinya kondisi itu didayagunakan terintegrasi dalam satu perencanaan untuk semua, sehingga segala bentuk bantuan ke desa lebih terfokus dan sesuai dengan harapan masyarakat desa.
Lanskap serupa juga nampak pada belum diserapnya data profil desa yang sebenarnya berisi data penting potensi dan segenap keunggulan dan kelemahan desa. Jika hal ini dimanfaatkan oleh seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) baik Provinsi dan Kab/Kota, maka bukan mustahil desa memiliki 1.000 wajah (kemajuan). Potensi satu maju, sumberdaya lain berkembang. Inilah simbiosa yang mesti digarap oleh terisula ABG (academician, bussiness dan government).
Dari snapshot di atas, untuk membantu secara riil dan positioning desa selama ini, sepertinya maasih perlu penguatan relasi internal dan ekseternal serta bantuan yang sifatnya harus mendidik. Memang banyak lembaga kemasyarakat dan lembaga desa yang bermunculan di desa, namun selama ini belum berperan fungsi secara optimal. Misalnya, di desa ada kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, di desa pun juga ada lembaga badan usaha milik desa (BUMDes).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah lembaga semacam BUMDes, lembaga ekonomi masyarakat (LEM) itu sudah mampu mengkoneksikan dan mengintegrasikan diantara para pegiat usaha ekonomi produktif masyarakat hingga jejaring pasar. Begitu pula, badan permusyawatan desa (BPD), lembaga pemberdayaan masyarakat desa (LPM) sampai kader-kader posyandu dan PKK sudah mereposisi peran fungsinya secara organisasional yang ballance  antara bisnis dan sosial dalam dinamika organisasi di desa.
Untuk itu, tidak salah jika bantuan kepada desa dan masyarakat desa tetap meluncur, tetapi core value edukasi dan pemberdayaan harus ditegakkan. Sekali lagi perhatian besar terus kita tumpukan dan curahkan kepada desa, karena masyarakat terbesar di desa, kekurangberuntungan juga ada di desa.
Ingat, kembali dan berbuat nyata (hanya) untuk desa merupakan momentum yang memberikan tempat paling terhormat bagi desa dan masyarakat desa. Karena melaluinya, masyarakat desa sebagai pemilik program. Sudah waktunya masyarakat membangun. Kita gelorakan peduli pada desa, kita tabuh genderang Holobiskontulbaris, meski hidup dalam satu ranjang (desa) tapi punya mimpi yang berbeda. Itulah desa Indonesia.
*(Drs. Marjono, MM, staf Bepermades Prov. Jateng)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar