BLESSING DISGUISE BALSEM
*Marjono
Kemiskinan bagai kisah yang tak pernah usai. Sepanjang
ruas Daendels pun tak akan mampu memuatnya. Ia sebuah keadaan yang tidak
pernah diimpikan oleh siapa pun. Malangnya, potret buram seperti itu banyak
dijumpai pada masyarakat kecil, kaum papa baik di pelosok desa maupun di kolong
kota. Sesungguhnya, mereka pun juga punya mimpi seperti masyarakat lainnya.
Mereka tidak muluk-muluk dalam hidupnya, mereka hanya
ingin hidup sehat dan mempunyai uang. Soal perut adalah soal hari ini.
Masyarakat kecil, yang sebagian menjadi sasaran bantuan langsung sementara
masyarakat yang disingkat BLSM alias Balsem ini tidak terlampau mengurus soal
seminar, kajian, iklan layanan masyarakat dan provokasi produktif lainnya.
Pertanyannya kemudian adalah apa yang telah kita perbuat dan lakukan bagi
saudara kita yang miskin?
Langkah pemerintah yang meluncurkan balsem bagi
masyarakat miskin, tidak ada yang salah. Barangkali cuma perlu disempurnakan
soal pendataan, distribusi dan pengawasan atau kontrol di lapangan. Masyarakat
miskin sendiri tak ribut soal balsem, mereka rela berlelah-lelah, berkeringat
dengan sabar antre menjemput giliran pembagian balsem.
Tak ada yang aneh, dengan balsem dan pemerintah. Hanya
saja, balsem dan jenis bantuan lainnya, justru semakin tahun harus dikurangi
bahkan dihilangkan. Saya teringat dengan hasil penelitiann Sudijono Siswo
Atmojo daru UNNES mengatakan bantuan
model pendanaan hanya akan melanggengkan kemiskinan. Lepas dari itu semua
balsem nampaknya masih cukup dibutuhkan, utamanya masyarakat kecil.
Berkoneksi dengan jenis bantuan lainnya, baik hibah,
bantuan sosial dan bantuan keuangan pun kemungkinan akan lebih baik jika
tren-nya semakin tahun semakin mengecil. Jika tidak, kapan mereka belajar
berkreasi, inovasi bahkan hingga menciptakan nilai pasar sendiri.
Nampaknya harus dipahamkan kepada seluruh masyarakat,
baik masyarakat miskin, eksekutif dan legislatif. Karena di stasiun media atau
di hotel berbintang pun banyak orang-orang intelektual justru menangguk berkah
dari segala bentuk intervensi terhadap kaum miskin.
Begitu sebaliknya, dengan keterpurukan kaum miskin ini
sesungguhnya mampu menjadi pelecut bagi pemerolehan berkah tersembunyi (blessing
disguise), sehingga mereka mampu mendayagunakan potensi diri dan
lingkungannya membangun harapan dan masa depan dari jerih payah, kerja keras
atau dengan bahasanya calon terpilih Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,
kalau tak mau disebut konsepnya Soekarno, mereka harus berdikari : berdiri di
atas kaki sendiri.
Sekali lagi, barangkali balsem hanya adhoc dan harus
dipahami bahwa seluruh bantuan itu hanya sesaat, sementara, temporari dan tidak
kekal. Bukan jangka panjang dan permanen. Pemerintah selalu di pihak yang
susah, di kasih salah, nggak dikasih lebih salah.
Bukan Panasea
Suka tidak suka balsem itu hanya salah satu obat yang
akan menyembuhkan derita saudara kita yang miskin. Ia bukan obat mujarab (panasea)
yang bakal mampu melepas dan menghilangkan ketidakberdayaan kaum kecil. Mereka yang bersikeras, jika balsem itu mesti
permanen dan selamanya, justru dikhawatirkan ia tidak memahami konsep
kemandirian itu. Segala kebijakan pemerintah selalu menuai pro kontra dan semua
wajib dipahami dalam kerangka mendidik masyarakat membantu meringankan beban
mereka secara riil.
Jika tidak sepakat dengan balsem, sah-sah saja
kelompok yang acap mengklaim peduli dan berjuang demi rakyat, bergerak dengan
sikap dan tindakan positif, misalnya membuka dompet-dompet peduli, koin untuk si
miskin atau para anggota Dewan atau pejabat yang terhormat beramai-ramai secara
ikhlas menyisihkan sebagian gajinya untuk mendampingi luncuran balsem. Aksi itu
lebih dan sangat terhormat, ketimbang mengkritik pemerintah tanpa ada aksi
nyata. Sekarang, advokasi saja tidak cukup, tapi harus lebih kepada aksinya.
Fatimatus Zahra pernah berkata, “ada saatnya berkata dan ada waktu berbuat
nyata.”
Peluncuran balsem dengan segenap kekurangan dan
kelebihannya merupakan bentuk bakti dan model ketaatan pemerintah yang tidak
melupakan ibu kandungnya, ya masyarakat miskin kita. Pemerintah tidak
berkehendak membangun sosok Malinkundang, Zorrow atau Robin Hood. Marilah kita
berikan kesempatan kepada pemerintah untuk berbuat baik dan nyata.
Daftar panjang penerima/sasaran balsem, apapun dan
siapa pun yang mendata, bukan saatnya mencari kambing hitam, tetapi bagaimana
kita dengan secara sadar dan berjiwa besar melepas jatah “balsem,” yang memang
bukan haknya. Kembalikan dan berikan hak itu kepada yang berhak menerimanya,
yakni saudara kita yang miskin.
Jika pun masih saja ada masyarakat yang di luar kategori
miskin, namun tetap menyerobot kue
balsem, harga diri mereka sesungguhnya tidak lebih dari yang mereka perebutkan.
Satire Thukul, “mengharukan.” Karena tanpa malu-malu mereka melepas rasa
malu, memiskinkan dirinya (hanya) dengan empat amplop yang dibagikan pada empat
bulan ke depan. Masyarakat kita dikenal pintar merangkai, tapi juga harus cakap
mengurai dan barangkali kita tidak ingin dikenang sebagai bangsa yang hanya (bermulut)
besar dalam menghargai jasa pahlawannya. *Marjono, Staf Bapermades Prov.
Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar