Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Selasa, 20 Agustus 2013

BLESSING DISGUISES BALSEM



BLESSING DISGUISE BALSEM
*Marjono

Kemiskinan bagai kisah yang tak pernah usai. Sepanjang ruas Daendels pun tak akan mampu memuatnya. Ia sebuah keadaan yang tidak pernah diimpikan oleh siapa pun. Malangnya, potret buram seperti itu banyak dijumpai pada masyarakat kecil, kaum papa baik di pelosok desa maupun di kolong kota. Sesungguhnya, mereka pun juga punya mimpi seperti masyarakat lainnya.  
Mereka tidak muluk-muluk dalam hidupnya, mereka hanya ingin hidup sehat dan mempunyai uang. Soal perut adalah soal hari ini. Masyarakat kecil, yang sebagian menjadi sasaran bantuan langsung sementara masyarakat yang disingkat BLSM alias Balsem ini tidak terlampau mengurus soal seminar, kajian, iklan layanan masyarakat dan provokasi produktif lainnya. Pertanyannya kemudian adalah apa yang telah kita perbuat dan lakukan bagi saudara kita yang miskin?
Langkah pemerintah yang meluncurkan balsem bagi masyarakat miskin, tidak ada yang salah. Barangkali cuma perlu disempurnakan soal pendataan, distribusi dan pengawasan atau kontrol di lapangan. Masyarakat miskin sendiri tak ribut soal balsem, mereka rela berlelah-lelah, berkeringat dengan sabar antre menjemput giliran pembagian balsem.
Tak ada yang aneh, dengan balsem dan pemerintah. Hanya saja, balsem dan jenis bantuan lainnya, justru semakin tahun harus dikurangi bahkan dihilangkan. Saya teringat dengan hasil penelitiann Sudijono Siswo Atmojo daru UNNES  mengatakan bantuan model pendanaan hanya akan melanggengkan kemiskinan. Lepas dari itu semua balsem nampaknya masih cukup dibutuhkan, utamanya masyarakat kecil.
Berkoneksi dengan jenis bantuan lainnya, baik hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan pun kemungkinan akan lebih baik jika tren-nya semakin tahun semakin mengecil. Jika tidak, kapan mereka belajar berkreasi, inovasi bahkan hingga menciptakan nilai pasar sendiri.
Nampaknya harus dipahamkan kepada seluruh masyarakat, baik masyarakat miskin, eksekutif dan legislatif. Karena di stasiun media atau di hotel berbintang pun banyak orang-orang intelektual justru menangguk berkah dari segala bentuk intervensi terhadap kaum miskin.
Begitu sebaliknya, dengan keterpurukan kaum miskin ini sesungguhnya mampu menjadi pelecut bagi pemerolehan berkah tersembunyi (blessing disguise), sehingga mereka mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya membangun harapan dan masa depan dari jerih payah, kerja keras atau dengan bahasanya calon terpilih Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, kalau tak mau disebut konsepnya Soekarno, mereka harus berdikari : berdiri di atas kaki sendiri.
Sekali lagi, barangkali balsem hanya adhoc dan harus dipahami bahwa seluruh bantuan itu hanya sesaat, sementara, temporari dan tidak kekal. Bukan jangka panjang dan permanen. Pemerintah selalu di pihak yang susah, di kasih salah, nggak dikasih lebih salah.
Bukan Panasea
Suka tidak suka balsem itu hanya salah satu obat yang akan menyembuhkan derita saudara kita yang miskin. Ia bukan obat mujarab (panasea) yang bakal mampu melepas dan menghilangkan ketidakberdayaan kaum kecil.  Mereka yang bersikeras, jika balsem itu mesti permanen dan selamanya, justru dikhawatirkan ia tidak memahami konsep kemandirian itu. Segala kebijakan pemerintah selalu menuai pro kontra dan semua wajib dipahami dalam kerangka mendidik masyarakat membantu meringankan beban mereka secara riil.
Jika tidak sepakat dengan balsem, sah-sah saja kelompok yang acap mengklaim peduli dan berjuang demi rakyat, bergerak dengan sikap dan tindakan positif, misalnya membuka dompet-dompet peduli, koin untuk si miskin atau para anggota Dewan atau pejabat yang terhormat beramai-ramai secara ikhlas menyisihkan sebagian gajinya untuk mendampingi luncuran balsem. Aksi itu lebih dan sangat terhormat, ketimbang mengkritik pemerintah tanpa ada aksi nyata. Sekarang, advokasi saja tidak cukup, tapi harus lebih kepada aksinya. Fatimatus Zahra pernah berkata, “ada saatnya berkata dan ada waktu berbuat nyata.”
Peluncuran balsem dengan segenap kekurangan dan kelebihannya merupakan bentuk bakti dan model ketaatan pemerintah yang tidak melupakan ibu kandungnya, ya masyarakat miskin kita. Pemerintah tidak berkehendak membangun sosok Malinkundang, Zorrow atau Robin Hood. Marilah kita berikan kesempatan kepada pemerintah untuk berbuat baik dan nyata.
Daftar panjang penerima/sasaran balsem, apapun dan siapa pun yang mendata, bukan saatnya mencari kambing hitam, tetapi bagaimana kita dengan secara sadar dan berjiwa besar melepas jatah “balsem,” yang memang bukan haknya. Kembalikan dan berikan hak itu kepada yang berhak menerimanya, yakni saudara kita yang miskin.
Jika pun masih saja ada masyarakat yang di luar kategori miskin, namun  tetap menyerobot kue balsem, harga diri mereka sesungguhnya tidak lebih dari yang mereka perebutkan. Satire Thukul, “mengharukan.” Karena tanpa malu-malu mereka melepas rasa malu, memiskinkan dirinya (hanya) dengan empat amplop yang dibagikan pada empat bulan ke depan. Masyarakat kita dikenal pintar merangkai, tapi juga harus cakap mengurai dan barangkali kita tidak ingin dikenang sebagai bangsa yang hanya (bermulut) besar dalam menghargai jasa pahlawannya. *Marjono, Staf Bapermades Prov. Jateng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar