SEKOLAH HIDUP ITU BERNAMA MASYARAKAT
*Marjono
Desa selalu memesona bagi
para donasi baik pemerintah maupun kalangan swasta dalam urusan stimulan
pembangunan. Reasoning-nya, kamus BPS mengungkapkan, penduduk terbesar
berada di desa-desa, masyarakat miskin terbanyak tinggal di pedesaan, tingginya
angka buta aksara yang berkontribusi terbesar ialah masyarakat di desa-desa.
Dan, glosarium birokrasi acap menstigma kegagalan maupun malpraktek pembangunan ditimpakan kepada masyarakat yang
notabene pendidikan, keterampilan dan sikap mentalitasnya rendah.
Cukupkah itu semua?
Lha, sekarang wajarlah
jika komposit pembangunan mengalir ke wilayah pedesaan. Karena lokus pedesaan
tersebut diharapkan bangkit dan beroleh penghidupan yang lebih sejahtera. Untuk
upaya tersebut, tidak kurang baiknya kita
(baca enabler) belajar dari James YC. Yen, 1920 yang
mengintrodusir 12 prinsip pembangunan atau pemberdayaan masyarakat yang masih
relevan dalam konteks dan eskalasi kekinian.
Pertama, pergi/datanglah ke masyarakat. Langkah ini akan sangat bermakna
ketika kita mampu meliat, berhadapan dan menemukan langsung apa yang menjadi
persoalan masyarakat. Karena permasalahan faktual dan atau empirik ini akan
menjadi basis pertimbangan dalam perumusan kebijakan lanjut. Kedua,
hidup bersama masyarakat. Dengan bergumul dengan arus bawah ini, maka kita akan
mendapatkan pengalaman langsung dan original di tengah masyarakat. Frase ini
tidak bisa tergantikan oleh reportase yang asal bapak/ibu senang belaka. Di
sinilah tak terhindar akan nampak mana yang baik dan buruk pada makna
denotatif. Pada tataran ini kita akan merasakan dan menikmati betul bagaimana
susah dan riangnya masyarakat dalam membangun. Titik empati lebih mengental di
sini.
Ketiga, belajar dari masyarakat. Kita di jajaran eksekutif maupun
legislatif tidak boleh merasa paling jago dan terpintar dalam membedah soalan
masyarakat. Karena masyarakat itu sebenarnya cukup cerdas dalam membuka
centang-perentang yang mengurung diri dan lingkungan masyarakat, bahkan mereka
memiliki metode atau model yang tidak pernah ditemukan di bangku kuliah atau
meja persidangan anggota DPR. Tahapan inilah, kita harus rela membuka diri,
saling belajar dan tak ada ordinat dan sub ordinat. Semua pihak
berada pada posisi yang setara. Bentuk kearifan lokal menjadi suguhan yang luar
biasa ketimbang warna demonstrasi dan gebrakan meja.
Keempat, merencanakan bersama masyarakat. Setelah kita datang, hidup bersama
dan belajar dari masyarakat, kita akan beroleh spot-spot atau mapping
permasalahan dan potensi yang ada, maka kita pun harus mampu berencana dengan
apa menjadi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dan, terpenting dalam fase ini,
masyarakat harus terlibat sepenuhnya dalam perencanaan pembangunan, karena
sejatinya masyarakatlah adalah pemilik program itu sendiri.
Kelima, bekerja dengan masyarakat. Keberhasilan pembangunan tidak akan
pernah berhasil jika hanya dilakukan sepihak, pemerintah semata atau
sebaliknya. Maka, kedua kutup itu harus seia sekata. Porsi terbesar tetap
berada pada pihak masyarakat. Sikap budaya gotong royong yang menjadi warisa
luhur itu tetaplah terawat secara baik, karena jika melupakan atau mengabaikan
peran-peran masyarakat dalam membangun, maka ia sesungguhnya telah menjadi
malin kundang yang durhaka pada ibu kandungnya (baca masyarakat). Keenam,
memulai dengan apa yang diketahui dan dipahami masyarakat. Small is
beautiful, kata E. Schumacher. Sisi ini kita lakukan sesuatu dari hal-hal
yang kecil, sederhana, simpel dan tidak muluk-muluk. Jadi masyarakat kita ajak
menghormati dan menghargai sekecil apapun kontribusi masyarakat, baik
menyangkut ide, tenaga, waktu dan kerelaan lainnya. Kita pahamkan
seterang-terangnya apa yang menjadi perbincangan dan perlu dipecahkan bersama.
Ketujuh, membangun dengan apa yang dimiliki
masyarakat. Kita
mulai dengan sesuatu yang ringan dan tidak berliku. Kekuatan terbesar apa yang
dimiliki masyarakat, misalnya mereka punya kemampuan dalam urusan pendanaan,
maka kita dayagunakan kutup itu atau kuat di ruas tenaga kerja, maka hal itu
pun kita optimalkan dalam setiap aspek kegiatan. Dengan demikian, maka kita
kelola dengan sebaik-baiknya sumberdaya setempat. Potensi lokal sangat
strategis dalam mengurai problem lokal pula.
Kedelapan, ajarkan dengan contoh konkret. Jika kita mengharap proses dan hasil
yang sesuai kita harapkan, maka kita hantarkan dan suguhkan kepada masyarakat
sesuatu yang nyata bukan sebatas mimpi atau hanya di awang-awang saja.
Masyarakat mesti kita berikan yang tidak abstrak. Kita tidak akan pernah bisa
mengelola masyarakat kecuali kita telah menghasilkan sesuatu dengan wujud yang
bisa dilihat dan pembuktiannya ada. Jadi tidak sekadar pintar berceramah atau
pidato, tetapi lebih pada sesuatu yang tidak ngayawara. Masyarakat akan
takzim dan hormat atas hal yang ada bukti bukan janji maupun obsesi.
Kesembilan, bukan sekadar pamer, tetapi lebih
membentuk pola. Hal
ini bermakna bahwa kita jangan terlampau pongah dan tinggi hati atas apa yang
telah dicapai, tepai membangun pembelajaran yang membentuk pola kesadaran dari
dalam diri masyarakat sendiri. Di sini tidak boleh terjadi pemaksaan kehendak,
namun harus mampu membangun pemahaman dan penyadaran masyarakat secara sukarela
bukan mobilisasi maupun instruksi. Show of force tidak berlaku dalam etape
ini, tetapi kita harus mampu mengelola mindset atau pemikiran bahwa masyarakat
mampu membangun sesuatu atas keringat dan berdiri di kakinya sendiri dan
menjauhkan bentuk-bentuk intervensi maupun pengawasan. Karena jika sesuatu
terus diawasi, maka akan mereduksi nilai atau daya kreasi, inovasi dan
discovery masyarakat sendiri.
Kesepuluh, tidak menambahkan dan berakhir saja
pada hasil, tetapi lebih pada sistem. Kepolosan, keaslian, kejujuran dan kesediaan masyarakat
secara kudus layak diketengahkan. Kita perlu membangun sistem yang kuat untuk
mendukung suatu program pembangunan, karena dengan demikian akan semakin
menguatkan kapasitas sumberdaya manusia (aparatur) maupun kelembagaan yang ada.
Di sini mengandung pelajaran pula, bahwa dalam suatu masyarakat tidak boleh
mengandalkan pada satu sosok saja, tetapi harus melakukan model kaderisasi. Di
samping itu, terpenting ada munculnya regulasi yang memuat dan tidak surut jika
pucuk pimpinan atau sosok penting di dalamnya tanggal. Kebijakan tersebut harus
mampu dilakukan oleh siapapun dan bernilai tambah, whatever.
Kesebelas, tidak sepotong-sepotong tetapi lebih
pada keterpaduan/integrasi. Segala program pembangunan tidak akan berhasil jika dilakukan
secara parsial, sektoral. Hal ini akan jauh berbeda kalau program disengkuyung
secara sinergi terintegrasi antar sektor terkait. Di samping cakupan lebih
luas, secara metode keilmuan pun akan kuat dalam analisis output maupun
outcome-nya. Contoh sederhana, soal kemiskinan yang tak kunjung usai, maka
perlu dipecahkan bersama staheholders, menjangkau segitiga ABG
(akademisi, busisnesman dan government) dan tak kalah pentinya yakni unsur
masyarakat sendiri.
Keduabelas, bukan menyesuaikan tetapi pada
mengubah. Di sini
kita tidak boleh berkeras hati mengharuskan masyarakat mengikuti apa yang kita
mau, namun bagaimana metode kita untuk mengubah sesuatu. Prinsip pembangunan
maupun pemberdayaan kita harus mampu mengubah dari yang individual ke komunal,
dari malas menjadi rajin dan dari bergantung menuju merdeka dan mandiri. Sekali
lagi, kita harus mampu mengubah pola pikir, perilaku dan sikap mental
masyarakat menjadi produktif, membangun dan mandiri.
Terakhir, bukan menolong tetapi membebaskan. Pembangunan khususnya pemberdayaan
berorientasi pada upaya-upaya membebaskan, bukan menolong an sih. Pembebasan
lebih bermakna pada upaya mengangkat harga diri dan pemartabatan masyarakat
sesungguhnya. Menolong itu lebih dekat dengan upaya instan dan kurang edukabel
serta berjangka pendek. Lain dengan pembebasan yang berperspektif pada
sosok-sosok masyarakat yang otonom, jangkauan luas dan sangat lekat dengan
nilai futuristik.
Menutup tulisan ini,
marilah kita berikan dedikasi dan penghormatan yang setinggi-tingginya atas
inisiasi dan keringat masyarakat, karena sekolah hidup itu bernama masyarakat. *Marjono,
staf Bapermades Prov. Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar