MENUJU PROVINSI YANG RAMAH DISABEL
*Marjono
Pemberdayaan masyarakat
tidak mengenal lini. Segala bentuk bantuan stimulan bernuansa pemberdayaan yang
diluncurkan pemerintah dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat, namun belum
menjangkau seleuruh elemen masyarakat. Sebut saja kelompok disabel (kelompok
yang mengalami kesulitan dalam akses seperti hanya orang normal) belum banyak
mendapatkan perhatian semua pihak. Kelompok yang dulu kita kenal dengan istilah
kelompok cacat, tuna, berkebutuhan khusus dan atau kelompok difabel.
Kelompok disabel ini
memiliki sebaran baik di kota maupun desa, mereka pun masih saja dipandang
sebelah mata oleh banyak pihak. Pemerintah telah berbuat banyak untuk
memberdayakan kelompok disabel agar mereka tetap memiliki spirit hidup, kepercayaan
baru dan mandiri serta sejahtera.
Pemerintah juga telah
menjamin tidak adanya diskriminasi kepada kelompok ini, terbukti salah satunya
adalah mereka berkesempatan dalam kompetisi pengisian formasi PNS pun berbagai
pelatihan produktif diberikan kepadanya. Jumlah kelompok disabel yang tercatat di
Jateng (Maret-2013) mencapai 237.400 jiwa (berita SKPD-jatengprov.go.id).
Di beberapa daerah telah
berikhtiar untuk memberdayakan kelompok yang kurang beruntung ini melalui
pembangunan fasilitas sarana/prasarana pendestrian, di jalan umum maupun di
perkantoran swasta maupun milik pemerintah, namun lagi-lagi hal itu masih bisa
dihitung dengan jari. Contohlah, misalnya Kota Surakarta telah terlebih dahulu
berusaha memberikan fasilitas tersebut kepada mereka meskipun belum
mengakomodir semua kebutuhan kelompok ini.
Hal lain yang mengemuka,
di dalam proses Musrenbangwil maupun Musrenbangprov belum terlihat satu usulan
menyangkut simulasi evakuasi bagi kelompok disabel yang dibawa dan diangkat
serta diperjuangkan ke dalam forum terhormat tersebut secara argumentatif dan
rasional. Apakah ini satu kelupaan atau dianggap tidak cukup penting ataupun mewakili
usulan “khusus,” ketimbang usulan pembangunan fisik yang menelan ratusan juta
bahkan miliaran rupiah oleh Kabupaten/Kota.
Kelompok disabel ini
secara kasat mata sangat rentan manakala terjadi bencana, baik bencana alam
atau akibat ulah manusia. Kelompok ini tentu akan sulit, lambat dan repot jika
terjadi bencana dan harus melakukan evakuasi. Jadi nampaknya kelompok rentan
ini pun perlu diberikan pelatihan atau simulasi evakuasi jika terjadi kejadian
yang tidak diharapkan, seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir dan atau
tsunami.
Pelajaran penting yang
saya dapatkan ketika mengikuti Rakor fasilitasi kerjasama Luar Negeri,
merupakan NGO internasional yang
diselenggarakan oleh Ditjen PMD Kemendagri di Jogyakarta setahun silam, di sana
kami diajak melihat langsung simulasi evakuasi bagi kelompok disabel di desa Ngemplak, Kabupaten Sleman, DIY. Di
situlah NG0-Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) melakukan aksi nyata yang
belum bahkan tidak pernah disentuh oleh pemerintah, swasta maupun NGO lain. Di
desa ini kelompok disabel (anak-anak, orangtua) bersama orang normal dilatih
diberikan simulasi mengevakuasi kelompok rentan ini kala terjadi bencana. Masyarakat
sangat positif dan saling membahu, sangat menghormati antar warga dan tak ada
diskriminasi melata.
Satu langkah humanis yang
layak dicontoh oleh pemerintah dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian
terhadap kelompk disabel ini. Tidak ada
salahnya Jawa Tengah pun berkesempatan menuju Provinsi yang ramah disabel.
Disabel adalah bagian dari masyarakat Jawa Tengah, mereka pun juga tidak
sedikit yang mengharumkan nama besar Provinsi maupun bangsa kita, katakanlah
pada festival paragames di Solo atau di luar negeri beberapa tahun lalu, atau
torehan prestasi lain yang tidak terendus dan tertutup oleh media massa. *
(Marjono, staf Bapermades Prov. Jateng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar