MENTRADISIKAN DESA KE TENGAH KOTA
*Marjono
Di bawah
pohon rindang itu, sudah lama tukang cukur itu duduk termangu, tak juga datang
pelanggan yang ditunggu. Sesekali datang jugalah orang padanya. Dia sudah siap
mencukurnya. Ternyata orang itu hanya mau pinjam sisirnya saja.
Kemudian
datang orang lain. Kali ini ia hanya numpang meminjam gunting untuk merapikan
kumisnya. Tak lama kemudian datang lagi seorang lain. Ia pun hanya berhenti
sejenak, mematut-matut diri di depan kaca. Tukang cukur itu melongo (Sindhunata
dalam Esai-esai Bentara, 2004).
Seperti
itukah spirit dan etos kerja masyarakat desa? Menunggu dan menanti yang tidak
pasti dan akhirnya hanya melongo dan kecewa? Tentunya tidak, namun sebaliknya.
Desa dengan
segala romantisme mengingatkan kita pada pengalaman untuk mengunjungi lokasi
indah dan ingin mengulangnya pada titik sekarang, itulah “menziarahi masa lalu”
(romantic-nostalgic).
Masa di
desa semakin menebalkan katup kenangan yang tak usai sejak ubun-ubun hingga
ujung kuku, selayaknya sekujur tubuh desa yang nyaris sempurna. Terjadi proses
alamiah penuh suka cita gotong royong, saling peduli, berat sama dipikul ringan
sama dijinjing.
Masyarakat desa sarat dengan toleransi, salah satunya
menguncup pada festival bersih desa atau rasulan. Tengok juga keindahan
musyawarah dalam rembug desa atau musrenbangdes.
Satu hal lain yang tak habis-habisnya adalah tatkala
ibu atau nenek mendongeng atau berkisah tentang mitos desa, pada tempat
tertentu yang dikeramatkan atau dihormati, yang hingga kini teramat dijaga oleh
warga, sehingga terjaga pula struktur dan kondisi lingkungan yang bersepakat
dengan paradigma kekinian, go green.
Tak ada bom ikan, tak tejadi pula kerusakan hutan.
Manusia bisa saja merusak alam, tetapi alam tidak pernah memaafkan atas
kerakusan manusia pada alam.
Kecenderungan minat dan pelepas ketegangan orang kota
yang disibukkan dengan spirit kapitalis juga sangat mendamba, berkeinginan
mengunjungi, singgah dan berlama-lama menikmati panorama desa dengan lekuk
keindahannya.
Sesungguhnya bukan soal kemurnian desanya, tetapi
lebih pada perilaku masyarakatnya yang tidak kurus hati, tidak kusut jiwanya,
mereka jujur, apa adanya, ikhlas dan spirit kerelaan yang tinggi selalu melekat
pada wajahnya yang lugu.
Bahkan era sekarang tidak sedikit budaya atau tradisi
desa yang diusung ke tengah kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan
informasi dan teknologi. Hampir pasti pula tradisi desa yang dibawa ke kota
laris manis, misalnya bangunan/rumah khas desa, warung ala ndeso, sepeda zaman
dulu yang lebih banyak dipakai orang desa, permainan/dolanan versi desa mulai
dan banyak digali dan dikembangkan di hingar bingar hitech.
Media masa pun mulai melirik kembali dengan rubrikasi
basa jawa, begitu juga dengan dunia perfilman tidak malu-malu menjual desa
dengan segenap kemenarikannya. Busana, atraksi dan seni pun asesoris dan
makanan desa menjadi sesuatu yang diunggulkan oleh sebagaian dunia perhotelan
dan wisata kita. Dan, hampir menjadi agenda regular politik lima tahunan,
lagi-lagi desa terus diburu dan seolah merupakan lumbung suara.
Mohammad Sobary (Kolomnis-budayawan) memandang bahwa
ada hal-hal yang memang harus dipertahankan dari perdesaan (desa) terutama
kesahajaan masyarakatnya. Modern bukan berarti harus menjadi egois,
meninggalkan sifat-sifat baik ala orang (Jawa-Indonesia), dan
membiarkan adat orang timur tegerus kebudayaan lain. Bangsa yang kuat adalah
bangsa yang menghargai sejarahnya, menghargai leluhurnya dan asal-usulnya.
Desa juga banyak menyimpan energi produktif, seperti
rintisan teknologi tepat guna, dengan mendayagunakan potensi lokalnya sanggup
mematahkan krisis air maupun krisis energi di sebagaian wilayah desa. Kincir
air sanggup menerangi seantero desa, atau tengoklah pemanfaatan limbah sampah
yang diolah menjadi energi listrik di pedesaan Jawa Tengah, dan tidak sedikit
torehan emas di punggung-punggung bukit yang terjal dan seolah tidak memberikan
harapan dan optimisme baru.
MEMATAHKAN KENESTAPAAN
Lantas, bagaimana dengan branding kemiskinan yang
banyak dialamatkan kepada desa? Apakah potret muram itu akan terbiar, dibiarkan
ataukah cukup disimpan sebatas kenangan belaka? Cukupkah? Tentu kita semua tak
pernah berharap, berdoa dan bermimpi hidup ditimpa kemiskinan. Nampaknya bukan
zamannya, jika kemiskinan nota bene kenestapaan itu terahanyut, terendam dan
tenggelam dalam keseharian seluruh warga desa.
Sudah waktunya desa bergegas, bersegera dan cancut
taliwanda saiyeg saeka praya, ngupaya rejeki, dan memaknai ora obah ora
mamah. Baru saja kita merayakan bulan kebangkitan, maka sudah saatnya masa
sekarang dan mendatang adalah kebangkitan desa. Bangkit dari keterpurukan,
ketidakberuntungan, dan ketidakberdayaan
serta kemiskinan dalam aspek luas.
Paradigma
selama ini yang lebih nampak produk nyadhong dari atas atau bergantung
pada kucuran dana pemerintah, maka sekarang saat yang tepat untuk mengubah
pandangan, pemikiran dan pemahaman itu dengan membalik aksi nyata dengan
melibatkan penuh partisipasi masyarakat, yakni "desa membangun,"
karena secara denotatif desa adalah aktif bukan secara cuma-cuma pasif, gratis.
Paradigma desa membangun adalah
mendorong peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA)
untuk membangun lokalitas desanya.
Mari singsingkan lengan baju,
bersama-sama dalam denyut desa membangun, membuka kesadaran ya pemikiran kita
semua menuju msyarakat yang bermartabat, sejahtera dan mandiri. Semoga itu
semua menjadi fakta di lapangan bukan ilusi, dan mudah-mudahan kita saling
membahu hingga menyentuh akar rumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar