Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Selasa, 20 Agustus 2013


SMALL IS BEAUTIFUL
*Marjono

Sekarang ini, ada saja cara orang mendapatkan uang. Ada yang menempuh dengan hanya menjual omong, ada yang harus berlelah-lelah dengan membanting tulang dan memeras keringat, ada juga yang mereguknya dengan adu konsep dan jalan lain yang berujung pada perolehan uang.

Banyak jalan menuju roma, banyak cara menghimpun asa juga banyak ragam meraup uang.

Kemiskinan pun meleleh di bulan ramadhan ini, karena orang yang masih betul-betul miskin (absolut) dan merasa miskin akan berjuang setidaknya bertahan mencukupi kebutuhan keluarga hingga lebaran.

Upaya ini dilakukan melalui jalan terang-terangan, diekspose di depan mata publik, sehingga rasa malu atau sungkan sudah tak hinggap di hati mereka, baik diperempatan jalan, di ujung gang, di depan pusat keramaian, atau di tempat lalu-lalang orang, sehingga banyak yang menyaru menjadi pengemis (original) dan atau debutan baru yang dididik sebagai calon pengemis, seolah mereka ingin membuka mata kita yang dikira buta.

Jalan lain yang berseberangan juga dilalui, seperti dengan penuh kesadaran bahwa ia miskin, namun ia mampu mempimpin tekad dan hatinya untuk bekerja keras, siang malam demi melumpuhkan atau mematahkan kemiskinan keluarganya (menjadi nelayan atau buruh tani, misalnya).

Kelompok kedua ini nampaknya jauh lebih memiliki spirit eagle dan positioning namun tidak melupakan kewajiban kodratnya menghidupi anak-isteri dan orang-orang terdekat yang membutuhkannya.
 
PELUANG
Sekali lagi, kemiskinan acap dibanderol sebagai upaya legalitas untuk meraih karitas, kemanusiaan, empati pihak lain. Coba buka kembali memori kita untuk menelusuri rute perjalanan dari rumah sampai ke tempat kerja di rentang sebulan puasa ini, mungkin saja kita menjumpai kerumunan pengemis (baru) yang tak seperti hari biasa di ruas Tugumuda, Pandanaran, A Yani atau Simpang Lima, Kariadi, Kalibanteng, dan lainnya).

Mereka secara kuantitas lebih banyak dan dengan asesorisnya menjual kenestapaannya di hati pengendara motor, pemilik mobil mewah dan berkilap. Mereka pun bisa meraup hingga ratusan ribu rupiah setiap harinya. Penghasilan temporer inilah yang menyulut keinginan mereka untuk mengemis, ketimbang harus jadi pemulung (misalnya).

Mental pengemis yang instan telah menggiring mereka pada mental konsumtif sekaligus burjouis. Tak sedikit diantara mereka yang memiliki rumah yang permanen, bagus dan terpandang di lingkungannya, namun lagi-lagi mereka masih kurus hatinya.

Bagi pengemis, inilah kesempatan baik untuk menumpuk uang dan bisa beramal di desa asal. Memang dilematis, dan sangat tipis, bagaimana ia yang pengemis tapi ia juga dermawan. Pertanyaan itu juga berlaku bagi pengemis atau penumpuk sedekah keliling dari masjid satu ke masjid lain juga profesi serupa lainnya.

Kita juga tidak bisa menyalahkan cara setiap orang berbagi rezeki atau sedekah terhadap orang lain. Ada asumsi bahwa tangan di atas akan lebih baik ketimbang di bawah. Dan, asiknya lagi, mereka pendonasi lebih suka dan merasa afdol jika ia memberikan infak, sedekahnya melalui tangannya langsung tanpa perantara.

Padahal, cara-cara seperti itu menerbitkan pucuk-pucuk kekhawatiran, seperti pembagian sembako yang sampai terjepit, terinjak dan pingsan atau harus dibawa ke rumah sakit bahkan hingga berhenti pada ajal menjemput, meskipun dengan pengamanan dan layanan ekstra sekali pun.

Realita seperti itu banyak dijumpai di momen puasa hingga syawal nanti. Jika masyarakat lebih memilih membagi sedekah, infak atau zakatnya dengan model individual, tidak dilarang, tetapi hal ini mengindikasikan sekarang tingkat kepercayaan mereka pada lembaga-lembaga penyalur zakat, infak dan sedekah menurun bahkan hilang. Masyarakat belum yakin bantuannya akan sampai di tangan yang membutuhkan 100%.

JEJARING
Berjubelnya pengemis di bulan puasa bagai jamur di musim hujan, seiring waktu sudah menjadi pemandangan biasa. Kondisi demikian, nampaknya tak hanya soalan kemiskinan yang melilit kehidupannya, tapi sekarang telah, sedang dan kecenderungan-trennya akan selalu ada pihak kuat yang mengeksploitasi kemunculan pengemis.

Bentuk eksploitasi bisa bermacam-macam, seperti memang karena melaratnya orangtua, tapi bisa juga anak-anak balita yang disewakan untuk dijadikan alat bantu mengetuk hiba pengguna jalan, atau lagi mereka yang masih anak usaia sekolah hanya di beri makan, minum seadanya, tapi uang hasil mengemis seluruhnya diminta orangtua, tanpa pernah mereka diajak mendiskusikan masa depannya, atau juga ada anak-anak pengemis yang sudah masuk di jaringan sindikat kejahatan.

Tidak jarang kita harus mengelus dada, ada seorang bapak atau ibu yang hanya duduk-duduk manis bahkan nampak bercengkerama dengan orangtua lain, mereka hanya mengawasai dari kejauhan dan acap berdalih mengontrol jika ada tramtib, sementara anak-anaknya dipaksa dan dibatasi kehidupannya untuk memekarkan ambisi orangtua dan harus melakukan satu pilihan yakni, mengemis.

Soalan di atas bukan saja soalan sosial tapi sudah menjadi permasalahan kemasyarakatan di depan mata kita. Sehingga kita pun tak cakap jika hanya bersikap pasif-apatis. Kita harus tanamkan ajarkan kepada anak-anak dan orangtua, bahwa kita tidak boleh miskin, oleh karenanya harus berkeja keras untuk mendapatkan uang dengan cara halal dan terhormat atau bermartabat.

Jalan hidup sebagai pengemis barangkali tidak masalah, tetapi jauh akan lebih bermartabat jika ia bekerja di sektor lain dengan makan dari hasil keringat sendiri. Lembaga keagamaan, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah kita rangkul kita ajak kerjasama menyelesaikan soalan pe-ngemis-an.

Kita ajak bersama-sama sanggar, kelompok dan atau LSM anak atau apapun namanya yang peduli dengan hal ihwal dunia pengemisan anak-anak. Pemda pun kita ajak memperbarui regulasi dengan pasal-pasal dan atau razia yang humanis atau bahkan pemda memfasilitasi pendidikan yang murah (buku, pakaian, makan minum) gratis bagi anak-anak pegemis melalui kontrak sosial dengan orangtua atau pengasuhnya. Kita siarkan pengentasan kemiskinan, utamanya pengemis melalui corong tokoh agama dan seluruh lembaga keagamaan.

Memang persoalan anak-anak ini semakin rancu saja di negeri ini, antara undang-undang dan komnas ham anak beda konteks dan penafsirannya, salah satunya adalah soal razia anak-anak.

Lalu, bagaimana peran negara atau pemerintah dalam konteks demikian? Pemerintah bisa memfasilitasi mereka melalui bantuan stimulan yang berkelanjutan dengan model pendampingan yang menggandeng orang-orang terdidik dan memiliki kapasitas di bidangnya untuk mengelola bantuan dana yang harus diabadikan dengan harapan bisa bergilir.

Untuk mengatasi atau menggulangi ledakan pengemis baru, tak bisa hanya ditempuh 1-2 bulan atau 1-2 tahun tetapi butuh komitmen dan kemauan politik untuk secara bersama-sama dan simultan bergerak melalui pelaksanaan hibah dan bantuan sosial yang berkelanjutan. Jadi tak hanya setahun pertama saja bantuan itu mengalir, tapi seterusnya misalnya hingga lima tahun ke depan.

Atau tidak boleh terjadi bantuan dana berhenti gara-gara ada pergeseran atau pergantian pejabat atau kepala daerah, menteri bahkan Presiden. Atau hanya karena ada prosesi pilpres, pileg, pilgub, pilbup/pilwakot atau hanya bencana alam, sehingga bantuan dana bagi mereka dialihkan kepada masyarakat korban atau kepentingan lain yang lebih urgen.

Misalnya saja, kita kucurkan bantuan permodalan usaha ekonomi produktif bagi komunitas pengemis dengan cara mapping, pelatihan dan luncuran bantuan alat dan modal, lantas kita dampingi hingga tahapan tertentu, hingga mereka berucap, “kami sudah tidak butuh bantuan anda lagi, silakan pergi dan kami mampu mengurus diri kami sendiri", jawab mereka ketus.

Di sinilah salah satu indikator pemberdayaan melalui jalan pendampingan yang boleh dibilang berhasil. Tak sedikit pula kisah mawar hitam dalam pemberdayaan masyarakat. Ke depan, langkah-langkah (meskipun) kecil yang kita lakukan menyorongkan hati, pemikiran dan keberpihakan yang humanis bakal berujung pada menaiknya penyadaran dan kesejahteraan warga masyarakat. Smal is beautiful, kata EF Scumacher.*(Marjono, staf Bapermades Prov. Jateng).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar