PENTINGNYA CAPACITY BUILDING KELEMBAGAAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Ketika UU 32 dan 33/2004 disyahkan, masyarakat memasuki fajar baru. Perombakan besar-besaran, tak sekadar revisi terhadap UU tersebut telah menghantarkan kita ke lembah desentralisasi. Ibaratnya, ia telah memekarkan otonomi sepenuhnya pada masyarakat bahkan sampai level desa yang sedang membangun.
Salah satu institusi yang menjadi ujung tombak upaya pemasyarakatan dan pemanfaatan serta pendayagunaan teknologi tepat guna pada level Kecamatan adalah Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek), dan Warung Teknologi Tepat Guna (Wartek) di aras Desa/Kelurahan. Kita seolah terkesiap bahkan pada tataran kontemplasi, mengapa institusi yang sudah berusia tak kurang satu dasa warsa itu sampai sekarang belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produktifitas usaha masyarakat.
Posyantek/Wartek adalah pedang bermata dua, artinya di satu sisi ia menjadi sesuatu yang layak dijual ketika ia mampu berperan sebagai payung atas berbagai layanan informasi, pasar dan kebutuhan teknologi bagi komunitas lokal bahkan trans dimensional. Ia harus pula berperan sebagai pusat konsultasi bisnis dan ragam konflik yang muncuk akibat kompetisi usaha, soalan bahan baku atau sekadar urusan tenaga kerja yang melengkungi di dalam pusaran usaha masyarakat. Pada saat lain, ia hanya sekadar papan nama, pelengkap penderita atau bahkan sebelah mata bagi sebagain pihak (baik birokrasi maupun swasta), karena track recordnya belum menyeruak di kancah usaha atau bisnis di lapangan.
Oleh karenanya, paling tidak institusi ini harus bersigegas bergerak, mawas diri dengan pemikiran besar meskipun aksi masih lokal (big think, local act). Inilah yang sedang, dan akan digagas dan perlu pembahasan berikut apresiasi yang sama jika kita memiliki ekpektasi yang tinggi atas pengembangan institusi dan kemajuan masyarakat. Setidaknya, masyarakat melek teknologi dan membangun budaya teknologi di tengah hiruk pikuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus dan selalu merembes pada segenap lini kehidupan masyarakat.
Disinilah perlunya dipikirkan kembali apa yang disebut capacity building Posyantek/Wartek. Bagaimana kita membimbing mereka pada aras peraihan sumber-sumber ekonomi baru melalui program-program teknologi tepat guna. Sesunggunya, jika institusi ini dikelola dengan baik, utamanya dari personal perangkat yang duduk di dalamnya memiliki jiwa enterpreunership. Jadi sekarang bukan zamannya lagi bernostalgia hanya menunggu uluran tangan dari jajaran birokrasi/pemerintah ketika kita hendak menghidupkan kembali Posyantekdes yang genial. Birokrasi penting, tapi bukan lantas semua harus dibawah jajaran birokrasi itu sendiri. Era otonomi, mendidihkan semangat, prakarsa dan otonomi masyarakat untuk bergerak dan melangkah. Apalagi ketika peran negara, seolah berkurang (anggaran terbatas), artinya negara tidak sepenuhnya memiliki kecukupan kemampuan dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat, kenapa kita tidak mencoba sendiri, menghidupi dan membangun dengan kemampuan sendiri.
Diakui atau tidak, kita selama ini seolah melupakan ibu kandung pemberdayaan teknologi tepat guna, yakni Posyantek/Wartek. Padahal kita masih banyak berhutang padanya, yakni membesarkan dan merawat sekaligus memberikan suntikan roh spirit pada aktor-aktor di dalamnya. Inilah raksasa yang masih tidur ketika orang lain sudah berjejal berjalan bahkan berlari dalam arus zaman yang tanpa sekat (borderless).
PROBLEMA KELEMBAGAAN
Pertama, lemahnya konsolidasi internal institusi Posyantek/Wartek. Yakni, semakin kuat konsolidasi internal, maka semakin efektif kinerja perangkat institusi. Masing-masing personal belum terbiasa bekerja secara tim, ia lebih terbiasa dengan bekerja scara sporadic. Pola kerja serta mekanisme layanan menjadi tidak terkoordinasi baik. Belum adanya kesepahaman tentang visi misi institusi, sehingga di dalam institusi tersebut terdapat kaukus yang kerap apriori terhadap kebijakan institusi, kedua, lemahnya responsibilitas dan kompetensi personal, yaitu tingkat responsibilitas dan kompetensi perangkat masih rendah, terutama mereka yang terkategori uzur.
Institusi ini sementara waktu masih berkesan menghormati tetua atau siapa penguasa di situ, tanpa menyandingkannya dengan urusan profesionalisme. Jadi lebih pada senioritas. Atau parahnya lagi, tugas dan fungsi personal di dalamnya belum sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian, kita juga harus tidak mengabaikan pesan substansi yang dibawa, yakni merepresentasi dan akomodasi sosial untuk merawat keseimbangan sosial yang dapat menekan potensi konflik lokal. Penempatan personal (kadang) mengindikasikan, siapa dekat siapa suka, bukan siapa mampu.
Ketiga, masih kuatnya dominasi Bupati/Walikota dan parpol. Hidup matinya sebuah institusi juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya political will dari pemerintahan dan Dewan yang berkuasa. Misalnya, Bupati/Walikota yang aprecied terhadap Posyantek/Wartek, maka institusi tersebut juga akan jalan, sebaliknya ketika mereka lebih getol membangun, menguatkan urusan warna politiknya, maka tak mustahil institusi teknologi tepat guna itu juga bakal kedododran, minimal dari sisi anggaran.
Jika Bupati/Walikota probisnis, paling tidak institusi ini bakal jalan atau baik, sebaliknya jika ia yang cuma duduk manis dan tak pernah mau membuka mata, lonceng kematian Posyantek/Wartek pun akan segera tiba. Keempat, tradisi administrasi modern masih minim. Budaya administrasi modern dan serba tertulis, terdata serta terarsip masih sangat minim. Sehingga segenap bentuk kesepakatan, perjanjian dan kontrak kerja ataupun segala yang menyangkut kebijakan harus didokumentasikan dalam berita acara. Hal ini untuk menghindari keributan yang tak diharapkan, dan kita memiliki acuan normatif yang tegak.
Kelima, kurangnya kemampuan mengelola keuangan institusi. Jajaran institusi ini ada indikasi (hanya) bergantung pada uluran tangan APBD atau pihak lain yang concern. Seperti terlihat banyaknya proposal dihampir semua instansi, kondisi ini barangkali lebih menunjukkan ketidakmampuan Kabupaten/Kota mensejahterakan masyarakat atau kususnya ketidakmampuan perangkat Posyantek/Wartek dalam upaya reinventing staff. Jadi lebih nampak, ada uang ada kerja. Atau ia pintar dalam rangka menghabiskan uang, tapi tidak cukup cerdas bagaimana menghasilkan uang.
Dan sisi lain, belum nampaknya program kerja yang jelas, belum memiliki skala konsentrasi penanganan yang bertahap dan berkelanjutan. Dan, terakhir terbatasnya jejaring pasar dan teknologi. sempitnya kerjasama, koneksi dan pelanggan atau pasar serta pusat-pusat riset dari personal Posyantek/Wartek. Jadi perlu membuka wawasan, membuka pikiran dan membuka kemauan serta membangun kemitraan yang profesional yang probisnis.
CAPACITY BUILDING
Capacity building adalah sebuah kerangka kerja untuk memperkuat kapasitas perangkat Posyantek/Wartek dalam mengelola institusi tersebut. Sebuah isu penting dalam pengembangan institusi ini adalah bagaimana kita memaknai kapasitas, apa yang hendak kita bangun dan kapasitas untuk melakukan apa? Kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau sistem untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Wadah itu penting, tapi semangat dan aktor di tiap gerakan harus jalan.
Tabel kerangka capacity building Posyantek/Wartek
Personal | Organisasional | Institusional |
§ kemampuan (pengetahuan, skill), jejaring, pelayanan, enterpreunership, orientasi market dan masyarakat, probisnis | § struktur organisasi ramping § struktur pembagian kerja jelas
§ mekanisme pengambilan keputusan § sistem rekrutmen perangkat § standarisasi pengelolaan keuangan § prasarana memadai § kepemimpinan § rencana strategis | § kemampuan menghasilkan kebijakan pengembangan institusi yang berorientasi pemberdayaan, berbasis kebutuhan dan partisipasi masyarakat serta berkelanjutan § kemampuan menghasilkan regulasi institusi yang legitimate dan marketable |
AGENDA KE DEPAN
1. Penguatan personal perangkat institusi, yakni
§ Training bagi perangkat
§ Pembuatan pola rekrutmen sesuai tugas dan fungsinya
§ Menciptakan mekanisme upgrading kemampuan parangkat sesuai zaman
§ Staffing/penempatan personal berdasarkan kompetensi
§ Menciptakan iklim kompetisi sehat antar personal
2. Penguatan relasi internal, yakni
§ Perlengkapan struktur dan pengorganisasian institusi Posyantek/Wartek
§ Komunikasi antar perangkat untuk sinkronisasi
§ Kejelasan job description masing-masing perangkat
§ Kejelasan batas kewenangan
§ Koordinasi kontinyu dan berkelanjutan untuk sinergisitas program
§ Evaluasi sebagai feedback atas keberhasilan dan kekurangan
3. Penguatan relasi eksternal, yakni
§ Pembentukan asosiasi Posyantek/Wartek jaringan antar institusi antar elemen lembaga tersebut sebagai wadah komunikasi dan kekuatan bagi institusi untuk mempengaruhi pihak lain
§ Pembentukan jaringan pemberdayaan, dalam arti jaringan multy stakeholders sebagai bentuk penguatan institusi terhadap pihak manapun
§ Menjalankan mekanisme subsidiarity. Pola ini memberikan keleluasaan pada institusi untuk mengelola dan menyelesaikan urusan secara mandiri. Intervensi birokrasi dipersempit
§ Menjadikan Kecamatan/Desa/Kelurahan sebagai intermediary atau penghubung kepentingan institusi, pengusaha, perajin dan atau inventor teknologi tepat guna serta masyarakat ke pihak luar. Kecamatan/Desa/Kelurahan bisa menjadi fasilitator kerjasama maupun penanganan konflik.
*Marjono