DI BALIK GELAR TEKNOLOGI TEPAT GUNA NASIONAL
Jogjakarta, 22 s/d 26 September 2010 berwarnai-warni dengan perhelatan Gelar Teknologi Tepat Guna (TTG) Nasional XII. Even strategis bagi perjumpaan inventor TTG dengan masyarakat calon pengguna. Ia juga mampu menjadi media pembelajaran dan pencerdasan sekaligus sosialisasi bagi masyarakat dan pelajar/mahasiswa untuk membudayakan TTG dan TTG yang berbudaya sekaligus penaikan produktivitas usaha.
Ada beberapa catatan pada penyelenggaraan Gelar TTG Nasional beberapa tahun terakhir ini, (mugkin) termasuk di Jogja Expo Center (JEC) Jogja. Pertama, pada gelar TTG Nasional kurang mampu mengakomodir invensi-invensi TTG yang sifatnya original dan betul-betul hasil karya masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Sehingga tidak sedikit yang menonjol justru peralatan TTG model pabrikan maupun sudah dalam skala besar.
Kedua, dalam lima tahun terakhir ini, masih berasa kental warna stan dari jajaran birokrasi/pemerintah ketimbang stan masyarakat atau kelompok masyarakat secara mandiri (80:20). Kondisi ini barangkali karena harga stand yang masih tinggi (+lima juta) bagi ukuran masyarakat kecil (utamanya) dan tentu saja alokasi harga bagi stand pemerintah tidak ada masalah, anggaran sudah teralokasi di dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Ketiga, di hiruk pikuk even akbar TTG ini, sebagian peserta masih saja memberi kesan tidak lebih sekadar ”kangen-kangenan” para inventor TTG, sehingga pemandangan deretan alat-alat TTG yang pernah digelar pada kesempatan terdahulu bisa kita nikmati pada kesempatan kini atau berikutnya tanpa sentuhan pembaruan dan atau inovasi.
Di luar itu, momen strategis ini terasa sayang, ketika stan Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek) dan Warung Teknologi (Wartek) masih bisa dihitung jemari kita. Kelembagaan TTG ini sesungguhnya merupakan ujung tombak bagi lalu lintas beragam TTG di level Kecamatan dan desa/kel. Bahasa santunnya, Posyantek, ibarat raksasa yang masih tidur. Ia belum semengkilap lembaga atau UKM/IKM binaan instansi atau perusahaan-perusahaan nasional.
Hal lain yang juga menggelitik adalah stand alat-alat TTG lengang (jika tanpa kunjungan anak sekolah) kala harus berjuang linear dengan stand yang (hanya) menjual produk, seperti batik, dan asesoris, juga oleh-oleh khas atau makanan olahan lain. Kadang stan peralatan tersebut berasa membosankan, tanpa strategi marketing yang jitu.
Tak jarang penjaga stan yang wangi tapi kurang bahkan sama sekali tidak menguasai informasi tentang apa yang dipamerkan, bagaimana spesifikasinya, cara kerja dari alat itu. Hal ini hanya akan menyebalkan bagi calon konsumen.
Gelar TTG Nasional berbeda dengan pameran lain, karena di samping pameran/gelar yang disertai praktek pemeragaan cara bekerjanya dari alat-alat TTG. Agar menjadi even menarik, nyaman dan ditunggu masyarakat, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, antara lain : perlunya memberi ”ruang” bagi invensi TTG original, bukan hanya TTG pabrikan/skala besar saja yang dipamerkan. Kemudian, agar pameran ini lebih bermakna maka tarif/harga stand layak dipikirkan kembali sehingga bisa menjangkau seluruh elemen masyarakat kecil sekali pun. Atau, seperti dua sisi keping mata uang : yang besar menopang yang kecil dan yang kecil menjadi pemasok bagi yang besar.
Diupayakan alat-alat TTG yang dipamerkan adalah sesuatu yang baru dan bernilai tambah tinggi, jadi tidak sekadar membawa alat TTG saja, sehingga perlu asesmen untuk TTG yang harus sudah afkir dengan pertimbangan tidak lagi terjadi efisiensi dan efektifitas dari alat tersebut.
Pada sisi kelembagaan, layak dilakukan revitalisasi lembaga TTG, seperti Posyantek dan Wartek, sehingga ada semacam capcity building di tubuh kedua lembaga ini. Wadah penting, tetapi terpenting aktor dan spirit di dalamnya harus terus bergerak.
Sebaiknya setiap stand peserta Gelar TTG ada upaya memiliki suatu performa yang berbeda (different) dengan stan lain. Dibuat seunik mungkin, dan varian tampilan stan perlu dijaga untuk membuka jejaring pasar yang lebih luas.
Dukungan dana sudah semestinya semakin menguat kolaborasi segitiga ABG (academician, business dan goverment) . Coba para anggota Dewan simak jika turun ke bawah, mungkin tidak ada satu pun dalam RAPBDes/Kel yang mencantumkan usulan kegiatan pengembangan TTG untuk desa/masyarakatnya. Ironi desa, Indonesia kita.
Lantas, Gelar TTG Nasional : even atau perilaku?. Jika hanya sebatas even, maka ketika pergelaran usai, berakhirlah remeh temeh pameran itu, ia tak pernah berbekas apa pun, namun jika ia sebagai perilaku, maka Gelar TTG dan semacamnya justru bakal mendatangkah berkah luar biasa bagi masyarakat lokal dan Pemda. Kala pameran berlangsung, dan atmosfir masyarakat juga baik dan mendukung, maka rupiah, investasi akan mengalir sempurna. Gelar TTG akan bermakna jika ia mampu mengawinkan sisi bisnis dan domain sosial.
*Marjono, Bapermades Prov. Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar