Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Kamis, 07 Oktober 2010

             
           FASILITATOR  ”BEYOND”  PRONANGKIS


  Diakui atau tidak, program penanggulangan kemiskinan (Pronangkis) sebut saja, Pogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Pedesaan/PNPM-MP dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan/P2KP adalah program terpopuler dan berhasil saat ini. Prestasi itu tak bisa dilepaskan dari peran para fasilitator di dalamnya (fasilitator kelurahan, Fasilitator teknik, fasilitator kecamatan dan fasilitator kabupaten). Pertanyaan yang menggelitik saya kemudian adalah apakah tugas peran dan fungsi fasilitator hanya an sih pengaman program alias menjalankan anggaran belaka? Angaran habis program selesai?
Tolok ukur keberhasilan fasilitator yang sebenarnya tak hanya terletak pada seberapa progres report  dana secara fisikal pendapatan atau produksi masyarakat menaik, tetapi lebih pada kematangan sosiokultur masyarakat. Fasilitator bukan spoiler pemerintah, tetapi lebih pada supporter pemerintah sekaligus triger (pemicu) perubahan ke arah kemajuan dan pembaruan dalam pengentasan kemiskinan.
Ketidaksementaraan pendapatan meningkat, tetapi kepercayaan hidup selanjutnya wajib dipahami sebagai transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian. Wujud kemandirian tercermin dari tingkat kepedulian dan partisipasi atau memudarnya ketergantungan kepada pemerintah. Pengertian ini bisa dipahami sebagai sikap mental dan perilaku rasional, kompetitif dan menolak ketergantungan.
Upaya pronangkis membangun otonomi masyarakat, salah satunya melalui pendekatan kswadayaan. Pendekatan Keswadayaan lebih menitik beratkan pada kegiatan usaha yang berdasar otonomi. Pertanyaan selanjutnya adalah arah keswadayaan yang bagaimanakah yang diinginkan oleh program-program pronangkis? Kalau target program hanya sebagai peningkatan sosial-ekonomi dengan didampingi petugas permodalan, diawasi dan dipantau oleh pemerintah, apakah ini akan mampu menciptakan keswadayaan yang sungguh-sungguh? Karena cara seperti ini mungkin saja tidak menciptakan lingkungan yang manusiawi, kebutuhan akan harga diri dan kebebasan telah dinafikan.
Optimalisasi program-program yang sedang berjalan (on going performance) semestinya tidak lantas semata-mata terpaku pada pengukuran-pengukuran konvensional. Perhitungan sosial selalu diketengahkan, karena lebih bernyawa daripada sekadar ukuran secara kuantitatif. Misalnya, untuk program PNPM-MP dan P2KP yang seharusnya pemerintah tidak menganggarkan tetapi giliran masyarakat dan swasta, akan terasa sayang jika pengalaman beberapa termin tersebut satu saat berhenti begitu saja tanpa ada follow-up nya. Jadi, yang terpikirkan adalah “beyond” di luar termin-termin tahun tersebut dan leadership fasilitator mampu melampui batas-batas alokasi anggaran untuk menggerakkan seluruh wilayah dan masyarakat.
Apa yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang berupa pendidikan untuk bertindak, di mana masyarakat disiapkan untuk mewujudkan tujuan masyarakat secara demokratis. Dengan demikian fasilitator tersebut mereposisi perannya sebagai agen untuk membentuk pengalaman belajar bagi masyarakat yang difasilitasinya ketimbang sebagai penggerak sasaran program.
Mengapa pendidikan? Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang mengacu pada cara berpikir, bersikap, berperilaku, maka bidang pendidikan merupakan titik strategis yang harus diperbarui dan diperluas (Weiner, 1966). Harga pendidikan=harga manusia.
Hal senada ditekankan Erasmus (1968), agar pronangkis  lebih diarahkan pada tujuan yang lebih material, dapat diukur secara nyata, yang dapat meningkatkan produksi dan standar kehidupan. Gerakan dan proyek fisik ini hanya sebagai entry point  untuk mewujudkan iklim dan suasana yang mandiri, sebagai alat motivasi dan insentif yang selanjutnya diharapkan mereka dapat membangun masyarakatnya yang berdiri di atas kaki sendiri.
Dengan demikian, fasilitator memiliki tugas utama melakukan dialog dengan masyarakat untuk menggali kebutuhan-kebutuhan nyata, menggali sumber-sumber potensi yang tersedia, mendorong masyarakat untuk menemukan spesifikasi masalah yang harus dipecahkan dan mengorganisir mereka untuk mengambil tindakan yang tepat dalam pronangkis.
          Rhenald Kasali dalam bukunya, “ChaNge,” menyerukan, Get started, get into the game, get into the playing field, Now. Just do it!  Transformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekedar struktural. Inilah transformasi sosial sesungguhnya di level akar rumput. *Marjono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar