MEMBUMIKAN TTG DI PEDESAAN
DALAM PERSPEKTIF BALI NDESO MBANGUN DESO
Jawa Timur saat dipimpin Basofi Soedirman memiliki gerakan yang cukup monumental, yaitu Gerakan Kembali Ke Desa. Jawa Tengah kini di bawah duet Gubernur dan Wakil Gubernur, Bibit Waluyo dan Rustriningsih juga mempunyai gerakan yang tak kalah luhurnya, yakni gerakan Bali Ndeso Mbangun Deso. Keduanya berkonsentrasi memberikan perhatian serius kepada ibu kandungnya, ya masyarakat pedesaan.
Jawa Tengah berupaya keras menuntaskan 1.776 desa berkembang melalui intervensi bantuan stimulan pada ke lokasi-lokasi tersebut yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Tengah. Bentu perhatian pada tahun pertama (2009) sudah ditangani sejumlah 350 desa, tahun 2010 mengangkat sebanyak 475 desa dan sisanya akan digarap pada tahun 2011 hingga tuntas pada tahun 2013.
Bantuan stimulan kepada setiap desa berkembang mencapai Rp 100.000.000 yang dialokasikan untuk usaha ekonomi kerakyatan. Satu hal yang cukup mendesak munculnya bantuan stimulan di atas tidak lain hanyalah persoalan kemiskinan, utamanya di wilayah pedesaan. Kemiskinan diakui atau tidak telah menciptakan polarisasi sosial di tingkat lokal dalam aspek yang sangat luas.
Ruh Gerakan Bali Ndeso Mbangun Deso, yakni mendorong masyarakat termasuk dunia bisnis, generasi muda untuk turut mengembangkan potensi pedesaan, untuk meletakkan basis kuat mematahkan gelombang urbanisasi sebagai dampak kilau industrialisasi dan modernisasi.
Kemiskinan secara sederhana dapat diartikan kelaparan, kebodohan, slum area, mudah sakit, bargaining position rendah, pemalas, kumal, dekil serta hal lain yang miring atau negatif (dipandang sebelah mata). Dengan kata lain, kemiskinan identik ketidakberdayaan.
Kompleksitas kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik penyebab kemiskinan itu sendiri. Suatu pendapat mengatakan, kemiskinan erat kaitannya dengan persoalan budaya, disebutkan masyarakat menjadi miskin jika mereka statis, tradisional dan paternalistik. Disebutkan juga kemiskinan lebih karena mereka malas, enggan untuk produktif dan konsumtif.
Namun semua itu belum tentu benar dan tidak sepenuhnya tepat, masyarakat miskin kadang mereka yang dinamis, mereka mengalami miskin karena ada sesuatu yang ditolak oleh masyarakat, seperti hanya menerima sesuatu yang murah, mudah dan resiko kecil, namun sekali lagi mereka pada dasarnya adalah pemikir kritis, bahkan mereka adalah peneliti.
Sesuatu yang mudah, murah, awet, beresiko rendah itu terwadahi dalam sebuah teknologi. Teknolog itu bernama teknologi tepat guna. Non sense, segala usaha ekonomi produktif dan nota bene berlabel kerakyatan jika didalam operasionalnya mengabaikan yang disebut teknologi pro poor, pro grass roots. Nah mengawinkan usaha ekonomi kerakyatan dengan mendayagunakan teknologi tepat guna menjadi sesuatu yang sangat cerdas dalam bingaki Bali Ndeso Mbangun Deso.
Memang tidak mudah meletakkan pondasi kokoh teknologi sederhana lebih bernuansi lokal pun ke tengah masyarakat itu sendiri. Untuk itu, agar konsep, kebijakan dan implementasi penerapan, pemanfaatan dan pengembangan eknologi tepat guna dapat diterima, kesiapan institusi terkait harus ditingkatkan. Selain itu, perlu gerakan budaya yang konsisten dan terus menerus untuk mengubah budaya yang melihat teknologi tepat guna sebagai teknologi yang murahan, kampungan dan ketinggalan yang dipelihara.
Meskipun regulasi telah dilansir menyangkut ke-teknologi tepat guna-an untuk melancarkan gerakan introdusir dan pemasyarakatan teknologi itu, tetapi secara bersamaan gerakan budaya harus dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang berhubungan dengan budaya. Dalam gerakan bdaya itulah peran agen perubahan sangat penting. Mereka dapat merupakanlembaga swadaya masyarakat, media massa atau individu-individu.
Persoalan teknologi tepat guna tak bisa dilepaskan begitu saja dari masalah sosial, yang pemecahannya juga melalui pendekatan sosial budaya pemilik/penemu teknologi dengan calon pengguna (masyarakat). Pendidikan ke-teknologi tepat guna-an dapat menyadarkan individu bahwa ia sistematis mengalami keurangan teknologi. Untuk itu, individu atau kelompok masyarakat bahkan lembaga diberanikan menyatakan hasil karya kreasi dan inovasinya megenai teknologi yang ia invensikan.
Inilah hal-hal kecil yang talah, terus dan akan dilakukan secara konsisten dan simultan dalam upaya membumikan bukan membenamkan teknologi tepat guna di pedesaan. Inilah sebentuk upaya melunasi hutang-hutang kita pada masyarakat desa berkembang (miskin), masyarakat pedesaan. Desa, segala bermula. Siapa mau? *Marjono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar