Bapermades

Bapermades
Jl. Menteri Supeno 17 Semarang

Kamis, 07 Oktober 2010

MODEL INVESTASI PENDANAAN:
(BERKAH ATAU BENCANA)

Kemiskinan sudah menjadi keprihatinan global. Ini terungkap secara tegas dalam sasaran-sasaran pembangunan milenium (Milenium Development Goals, MDGs) yang menetapkan penghapusan kemiskinan secara ekstrem dan kelaparan pada tahun 2015, sebagai acuan capaian kemajuan suatu negara.
Hal itu ketika ditarik dalam wacana sekarang, mengait soal implementasi program stimulan dana di lapangan, tidaklah semulus yang diekspektasikan pemerintah, banyak kendala, penyimpangan dan menuai kritik sana-sini. Maraknya konflik horizontal menjurus anarkis nampaknya masih mewarnai pola/model pembangunan seperti itu. Sebentuk biaya sosial yang tinggi yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Beban hidup penduduk miskin yang diskenario bisa menjadi ringan, justru malahan semakin menjadi dengan lonjakan harga beragam kebutuhan.
Hal di atas karena tidak sedikit program pembangunan masih bersifat top down, temporal dan sporadis dan sekadar mengenyahkan puncak “gunung es” kemiskinan. Rendahnya keterlibatan masyarakat miskin dalam program-program tersebut, karena program itu disusun atas asumsi bahwa orang miskin tidak mampu menolong diri sendiri dan tidak  memiliki potensi untuk menolong diri sendiri, menyebabkan keefektifan program masih kecil.
Pengetahuan tentang potensi dan kemampuan orang miskin dalam menolong diri sendiri masih terbatas. Data-data statistik makro yang digunakan birokrat belum mampu mengungkap dan memahami sepenuhnya fenomena kemiskinan itu sendiri. Data-data itu sulit mengungkap sumber pokok dan penyebab lain fenomena kemiskinan, sehingga penanggulangan kemiskinan belum efektif dan senantiasa menimbulkan bias, khususnya di level mikro.
Pemahaman tentang profil komunitas miskin dari segi internal dan eksternal, mutlak diperlukan sebagai acuan penanggulangan kemiskinan tidak hanya dalam jangka pendek, namun juga dalam jangka menengah dan panjang. Kajian dan analisis berbagai aspek dan dimensi kemiskinan dan penyebabnya diperlukan untuk mendudukkan permasalahan kemiskinan secara obyektif dan fair, agar semua pihak yang terlibat dalam pemecahan masalah sosial ini bisa merubah pola pikir, nilai-nilai, sikap perilaku ke arah lebih profesional dan efektif.

FAKTA LAIN

Tak dapat diingkari model investasi pendanaan (baca stimulan :hibah) justru menunjukkan fakta bahwa barisan penduduk miskin semakin menderet-deret di tengah gugusan “pulau-pulau kemiskinan.” Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sudjijono sastroatmodjo (UNNES) yang menjelaskan bantuan hanya melanggengkan kemiskinan.
Kekhawatiran itu memang beralasan. Ronggowarsito sendiri yang mengatakan sing ora melu ngedan datan keduman (yang tidak ikut main gila tidak akan kebagian). Tetapi, apakah rupanya ia tidak sadar bahwa zaman sudah berubah? Apakah sebenarnya ia menginginkan perpetuasi dari nilai-nilai bobrok yang telah menggerogoti sendi-sendi bangsa di masa lalu? Apakah ia tidak pula menyadari bahwa yang diungkapkan Ronggo Warsito bukanlah nilai-nilai keutamaan (virtue), melainkan justru prediksi tentang kondisi bobrok yang harus diwaspadai dan dicegah sehubungan dengan pelaksanaan program-program mulia pembangunan, seperti penyimpangan dengan pemotongan dana, pengalihan sasaran, sasaran rangkap.
Yang disebut terakhir acap menjadi-jadi, karena di salah satu desa, ia sebagai kelompok penerima dana PKK, ia juga terjangkau program usaha ekonomi desa atau kelompok sarana air bersih, kelompok teknologi tepat guna, atau lagi masuk dalam kelompok pemugaran rumah dan penataan lingkungan permukiman penduduk miskin. Bahkan ia juga menjadi penerima stimulan dana program pemberdayaan masyarakat berbasis gender, profil desa, ataukah malah munculnya kartu tanda penduduk rangkap, salah sasaran program, dan sebagainya.
Bila dilihat dari motivasi pembentukan kelompok-kelompok tersebut lebih berfungsi sebagai kelompok sasaran pembinaan dan penyuluhan, bukan sebagai kelompok masyarakat yang berswadaya. Kerap kali terjadi program yang diluncurkan oleh suatu institusi mengenai sasaran secara tumpangtindih, sehingga yang meningkat hanya berkisar pada kelompok (baca orang-orang) tertentu saja. Akibatnya tolok ukur dan pemantauan sulit dilakukan oleh masing-masing institusi dalam menilai keberhasilan program (Syamsulbahri, 1995).
Hal lain yang cukup mencuat di beberapa daerah adalah munculnya makelar proposal (marsal). Sementara di media massa berhembus kencang adanya makelar kasus (markus). Keduanya sama-sama menilap dan meggelapkan dana dan atau memeras paksa kelompok sasaran. Ada saja ulah marsal ini, ada yang sok baik menawarkan jasa dari pembuatan dokumen proposal hingga berkas-berkas yang diperlukan untuk pencairan. Nah, saat pencairan ini para marsal minta ”jatah.”
Sekali lagi, program-program penanggulangan kemiskinan bukan mimpi. Seperti halnya The End of Poverty, buku yang ditulis Jeffrey Sachs. Program PNPM-MP atau P2KP juga tidak muluk-muluk, targetnya bukan memberantas segala bentuk kemiskinan, melainkan kemiskinan absolut (extreme poverty). Kemiskinan absolut adalah ketika sebuah rumah tangga tak mampu memenuhi kebutuhannya bertahan hidup. Kemiskinan absolut menyebabkan bencana kelaparan serta beragam jenis penderitaan dan penyakit. Ia menjadi jebakan yang jika jatuh ke dalamnya sulit keluar tanpa bantuan. Inilah filosofi pertama dan utama bagi orang miskin, yakni untuk bisa berdiri dan berdaya ia tak bisa (hanya) diberikan sepenggal kail doang, tetapi harus diberikan ikan lebih dulu untuk bereksplorasi mampu membuat kail dan memanfaatkan kail tersebut.
Membaca peta kebahagaian orang miskin ketika mendapatkan durian runtuh bernama stimulan dana (notabene : hibah), mungkin bisa dimaklumi kalau seorang mistikus yang bernama Kabir pernah tertawa sambil menyindir, “Aku tertawa, ikan mati kehausan di dalam air.” Cubitan Kabir ini menyentak, karena implisit berarti manusia “mencari air di dalam air”. Sudah hidup di dalam danau (atau mungkin samudera) yang penuh air berlimpah, tetapi masih saja mencari-cari air untuk diminum karena kehausan. Inilah cubitan paling keras Kabir kepada orang-prang kaya/mampu yang menggadaikan harga dirinya ikut beberebut kue stimulan dana bagi orang-orang miskin. Kalau dituruti, sesiapa, materi, duniawi adalah: When enough is enough?  Kapan cukup itu terasa cukup?
            Penanggulangan kemiskinan  merupakan amanat rakyat, oleh karena itu, program universal tersebut merupakan tanggungjawab semua pihak. Pemerintah hanyalah salah satu elemen yang turut bertanggungjawab dalam kemiskinan karena pemerintah menyadari keterbatasan kemampuan baik secara organisasi, manajemen, maupun kelembagaan. Untuk itu diperlukan upaya koordinasi dari semua unsur masyarakat, mulai dari pemerintah, dunia usaha, lembaga keuangan, perguruan tinggi, lembaga pendampingan dan masyarakat yang sudah lebih maju. Dengan demikian, program pembangunan (baca pemberdayaan) akan terfokus lebih baik dalam menetapkan sasaran program (siapa, berbuat apa, di mana dan bagaimana), maupun penanggungjawabnya.
          Persoalan kemiskinan kian paradoks, dan alangkah naifnya kita bila melupakan, meminggirkan potensi dari unsur-unsur di luar pemerintah. Bangsa ini terlalu sayang untuk terjerumus dalam lembah kemiskinan, karena tidak cukup cerdas keluar dari belukar kemiskinan. Kalau kita gagal memberikan kesejahteraan, kemakmuran bagi mereka yang menghuni pulau besar bernama Indonesia, semua itu merupakan suatu kebodohan.
Jejaring kerja program penanggulangan kemiskinan hendaknya bukan bekerja dengan sistem komando yang bernuansa keproyekan, namun harus lebih pada inisiatif proaktif yang lebih dilatarbelakangi kuatnya komitmen dalam upaya menolong masyarakat basis. Di samping, perlu melakukan bencmarking dan mengambil lesson learn dari upaya-upaya penanggulangan kemiskinan sebelumnya. *Marjono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar